REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin menyatakan pemerintah akan terus berupaya mencegah masuknya kelompok atau paham Islamic State of Iraq and Syria (ISIS), karena tak sejalan dengan pemahaman ajaran Islam sebagai "rahmatan lil alamin".
"Paham ISIS tak juga sejalan dengan konstitusi Indonesia," kata Menag Lukman Hakim Saifuddin di Jakarta, Selasa (3/2).
Menag yang didampingi Sekjen Nur Syam, Dirjen Pendidikan Islam Komaruddin Amin, Kapuspinmas Rudi Subiyantoro, di hadapan sejumlah wartawan mengatakan, bentuk pencegahan yang dilakukan adalah memperkuat pemahaman konstitusi di sejumlah lembaga pendidikan Islam seperti Pondok Pesantren.
ISIS dengan perilaku radikal lahir dengan berbagai sebab. Akar masalah munculnya radikalisme dalam organisasi itu -yang belakangan ini menuai kebencian di berbagai belahan dunia- adalah ketidakadilan.
ISIS lahir sebagai reaksi yang dirasakan mereka sebagai adanya ketidakpuasan itu. Bentuk ketidakadilan itu dijawab dengan cara jalan pintas, dilakukan dengan jalan kekerasan.
Pranata yang normal, menurut Menag Lukman, sudah tak dipercaya lagi. Kemudian dengan dilandasi paham keagamaan tidak tepat, membawa ISIS kepada pemahaman yang radikal, jauh dari toleransi.
Maka jelas saja hal tersebut tak sejalan dengan upaya Indonesia yang secara terus-menerus meningkatkan toleransi dan kerukunan yang diterbarkan di Tanah Air.
Untuk mencegah ISIS agar tak masuk ke Tanah Air, Menag kembali menjelaskan bahwa upaya itu dilakukan dengan memberi pemahaman yang tepat tentang pentingnya konstitusi di sejumlah lembaga pendidikan Islam.
Untuk itu, kata Lukman, ia telah bekerja sama dengan Mahkamah Konstitusi (MK) untuk memberikan pemahaman tentang pentingnya memahami konstitusi.
Kemenag sendiri telah memetakan lembaga pendidikan Islam (pondok pesantren) mana saja yang menjadi prioritas diberikan pemahaman tentang konstitusi.
Membangun kesadaran konstitusi dengan melibatkan pondok pesantren sangat penting. Hal ini akan menjadi program reguler dan akan dilakukan secara berkelanjutan. Sebab, tutur Menag, masih ada yang memahami memberi hormat kepada bendera saja dianggap sebagai perbuatan thaghut.
Dalam berbagai literatur, pemahaman thaghut dimaknai sebagai semua orang yang berseberangan dengan pemahaman mereka dianggap thaghut dan musuh yang harus dihabisi melalui aksi-aksi kriminal yang dijustifikasikan sebagai ajaran Islam seperti ightiyalat (operasi membunuh aparat) dan isytisyhadiah (bom bunuh diri).
Perlindungan Umat
Terkait dengan hal ini, Menag Lukman mengingatkan, Indonesia mengusung Islam yang rahmatan lil alamin, sebagai pembawa rahmat bagi semesta alam.
Karenanya, ke depan, untuk memberi jaminan kepada pemeluk agama pihaknya merasa penting untuk memiliki Undang-Undang Perlindungan Umat Beragama (UU PUB).
Kini Kemenag tengah membuat rancangannya dan diharapkan dalam beberapa bulan ke depan sudah diperoleh masukan dari berbagai pihak. UU tersebut nanti akan mengatur wilayah privat dan publik dalam menjalankan ibadah bagi pemeluk agama, termasuk penagungan kebebasan agama.
Pendirian rumah ibadah yang hingga kini dalam peraturannya masih banyak menimbulkan salah tafsir, menurut Menag, harus dipertegas. Dengan cara itu, beda persepsi atau cara pandang yang bisa melahirkan kesalahpamanan dapat dihindari.
Inti dari UU PUB adalah memberi rambu-rambu kepada seluruh pemeluk agama. Perlindungan bagi pemeluk agama tak sebatas pada enam agama: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan Konghuchu, juga di luar enam agama yang ada harus mendapat perlakuan sama, ujarnya.
Bagaimana bentuk rambu-rambu itu, menurut Menag, seperti aturan dalam kampanye pelaksanaan Pemilu. Jangan sampai ada yang saling menghina atau menghujat pemeluk agama lainnya. Batasannya adalah pokok-pokok dari ajaran agama itu sendiri.
Lantas, siapa yang menentukan salah benarnya. Itu adalah pihak pengadilan dengan hakim-hakimnya. Yang jelas, kata dia, UU PUB memberikan kepastian hukum dan menjadi dasar pijakan bagi penegak hukum dalam menghadapi kasus yang berkaitan dengan penodaaan dan pelecehan agama.