Rabu 28 Jan 2015 22:48 WIB

100 Hari Pemerintahan Jokowi, Ekonomi Rakyat Dinilai Kian Memburuk

  Presiden Joko Widodo (kiri) berbincang dengan Wapres Jusuf Kalla (kanan) di Istana Bogor, Jawa Barat, Jumat (23/1).   (Antara/Widodo S. Jusuf)
Presiden Joko Widodo (kiri) berbincang dengan Wapres Jusuf Kalla (kanan) di Istana Bogor, Jawa Barat, Jumat (23/1). (Antara/Widodo S. Jusuf)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Karut marut kehidupan ekonomi dan sosial politik rakyat dinilai kian memburuk jelang seratus hari masa pemerintahan Kabinet Kerja Presiden Joko Widodo. Penilaian itu disampaikan Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Jakarta.

Menurut Pengamat AEPI, Salamuddin Daeng, kondisi tersebut dipicu ketidakpastian kebijakan ekonomi yang menyebabkan harga kebutuhan pokok (sembako) bergejolak tidak terkendali. Ia berkata, karut marut tersebut sangat terasa ketika awal penyusunan kabinet yang kental dengan bagi-bagi jabatan. Apalagi penyusunan kabinet juga penunjukan pimpinan pada lembaga strategis atas dasar perkoncoan, mulai dari pengangkatan Menteri BUMN Rini Soemarno, Menteri ESDM Sudirman Said serta jajaran direksi perusahaan pelat merah Pertamina dan tim Reformasi Tata kelola Migas.

"Ada satu kata kunci dalam permasalahan Pemerintahan saat ini, yaitu pembajakan harta kekayaan negara dan rakyat. Dapat disimpulkan ini merupakan pergantian mafia lama diganti dengan mafia baru," kata Salamuddin dalam Dialog 100 Hari Jokowi di Jakarta, Rabu (28/1).

Ia mencontohkan, seperti sektor migas, yang dipegang suatu kelompok tertentu. Bagaimana reformasi di jajaran direksi Pertamina hingga penunjukan Vice President Integrated Supply Chain (ISC) Daniel Purba.

"Lalu kemarin ISC dikabarkan telah deal dengan sonangol dengan skema B to B untuk import minyak mentah, artinya tidak discount all market price. Intinya sih sama saja kita impor, tapi pengimpornya yang berbeda, begitu juga tender crude oil yang kemarin dilaksanakan jauh dari transparansi yang selama ini digemborkan. Ada kebohongan publik disini," papar dia.

Daeng menerangkan, alih-alih pemerintah membenahi tata kelola migas atas nama reformasi, ternyata hanya berujung mengganti pemain lama dengan mafia baru, yang bahkan dilakukan dengan merecoki rantai supply migas nasional. "Ini sangat berbahaya bila tidak on schedule, bisa ada kelangkaan BBM," kata dia mengakhiri.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement