REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- DPR menjadwalkan revisi terbatas UU Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota (Pilkada) selesai sebelum 18 Februari 2015.
Direktur Eksekutif Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengingatkan, jika revisi singkat itu dilakukan sembarangan, maka sebagian besar materi UU Pilkada berpotensi digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK).
"Belum apa-apa, substansi Perppu Pilkada sudah dipermasalahkan di MK, ada 15 gugatan soal perppu. Ini sebenarnya bisa menjadi ilustrasi mengapa revisi harus dijadikan dalam penguatan kualitas pengaturan pilkada," katanya dalam sebuah diskusi di Jakarta, Ahad (25/1).
Menurutnya gugatan Perppu Pilkada yang sebelumnya diajukan masyarakat ke MK tidak akan berlaku lagi. Karena gugatan tersebut kehilangan objeknya saat perppu disahkan menjadi Undang-Undang. Meski begitu, substansi UU Pilkada bukan berarti tidak bisa dipersoalkan lagi ke MK. Lantaran isi Perppu Pilkada sama dengan isi UU Pilkada.
"Makanya, kalau DPR tidak teliti dalam melakukan revisi ini pintu masuknya nanti akan berujung di MK. Ini akan menimbulkan ketidakpastian, saat KPU membuat tahapan," ujarnya.
Jika revisi terbatas hanya mengubah hal-hal yang dianggap fraksi DPR menguntungkan kepentingan partainya, Titi mengkhawatirkan, gugatan ke MK akan menumpuk. Hal tersebut akan membawa dampak negatif bagi KPU.
"Saya khawatir penyelenggara akan disibukkan hal-hal yang diuji. Justru ini menimbulkan ketidakpastian hukum," katanya.
Sementara Ketua Perludem Didik Supriyanto menambahkan, poses penyusunan perppu banyak diwarnai berbagai perubahan sikap politik. Perppu dibuat dalam waktu singkat. Sehingga ketikda ditelaah kembali, banyak naskah akademiknya yang kurang tepat.
"Sekitar 50 persen pasal-pasalnya bisa kita permasalahkan. Ini bukan salah atau tepat. tapi muncul pertanyaan, rumusannya gak bagus, substansinya tidak seperti yang dibayangkan orang dan tidak sistematis," jelasnya.
Ia mencontohkan, Perppu Pilkada tidak mengutip Pasal 18 Ayat 4 UUD 1945. Yang menyebutkan gubernur, bupati dan walikota adalah kepala daerah provinsi dan kabupaten/kota yang dipilih secara demokratis.
Perppu hanya mengutip tentang alasan presiden mengeluarkan perppu. Padahal, menurut Didik, Pasal 18 lebih substantif. Sebab, pilkada merupakan pemilihan umum. Bukan sekedar pemilihan biasa.
"Dari sisi yang kami usulkan, memang perppu ini banyak sekali permasalahnya. Penggunaan istilah pemilihan dan pemilu saja itu kalau dipermasalahkan akan sangat bermasalah," katanya.
Didik mengusulkan, karena banyaknya materi yang harus direvisi maka pelaksanaan pilkada serentak yang dijadwalkan di 2015 diundur. Pilkada serentak tahap pertama diundur ke 2016. Setelah pasal itu direvisi, DPR kemudian bisa melakukan revisi lanjutan seiring dengan persiapan pilkada serentak 2016.
"Jadi yang direvisi terbatas itu cukup jadwalnya saja. Pilkada 2015 diundur ke 2016. Lalu pilkada 2018 dimajukan ke 2017, serentak nasional 2020 menjadi 2021," kata dia.
Materi-materi lainnya, menurut Didik, bisa diubah melalui revisi lanjutan dengan waktu yang lebih longgar. "Jadi diundur dulu, setelah itu baru kita revisi lagi hal-hal yangs ifatnya krusial. Misalnya tentang uji publik, pencalonan, sengketa, dan aturan lainnya yang masih bermasalah," ujarnya.