REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi II DPR sepakat mempersingkat tahapan Pilkada serentak. Keputusan tersebut diambil setelah mendengarkan masukan dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) saat rapat konsultasi di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (22/1).
"Komisi II DPR meminta KPU agar menyederhanakan atau memperpendek tahapan agar jadwal pelaksanaan pilkada tidak terlalu lama seiring dengan revisi UU Pilkada yang akan ditetapkan paling lambat 18 Februari 2015," kata Wakil Ketua Komisi II dari Fraksi Partai Gerindra Ahmad Riza Patria selaku pimpinan rapat.
Pemotongan tahapan pilkada tersebut menurutnya akan dibahas lebih lanjut dalam revisi UU Pilkada. Sebagaimana masukan dari hampir semua fraksi, beberapa tahapan dinilai terlalu panjang. Misalnya tahapan uji publik.
Hanya saja, Komisi II meminta KPU maupun Bawaslu menunda pembuatan Peraturan KPU dan Peraturan Bawaslu terkait substansi UU Pilkada. Khususnya peraturan menyangkut tahapan, jadwal dan program Pilkada serentak.
DPR meminta KPU dan Bawaslu menunggu hingga revisi UU selesai dan ditetapkan melalui paripurna pada akhir masa sidang DPR tahun 2014-2015 yang dijadwalkan 18 Februari nanti.
Sedangkan untuk peraturan-peraturan teknis, menurut Riza, KPU dan Bawaslu dipersilakan melanjutkannya. Misalnya peraturan tentang dana kampanye, aturan kampanye, partisipasi masyarakat, penyusunan daftar pemilih, dan logistik.
Sementara Ketua KPU Husni Kamil Manik mengatakan, merujuk pada Perppu yang telah disahkan menjadi UU waku dan desain jadwal Pilkada memang terlalu panjang. Tahapan pendaftaran bakal calon sudah dimulai sejak enam bulan sebelum pendaftaran calon. Dilanjutkan tahapan uji publik paling lambat tiga bulan sebelum pendaftaran calon.
UU Pilkada juga mengatur tahapan penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara (TUN) dan penyelesaian sengketa hasil yang panjang. Hari yang digunakan untuk penyelesaian sengketa menggunakan hari kerja, bukan hari kalender. Sehingga penyelesaian sengketa memakan waktu lebih lama.
DPR dan pemerintah, Husni melanjutkan, perlu mempertimbangkan soal waktu dan desain jadwal Pilkada. KPU menurutnya telah membuat simulasi jadwal berdasarkan Perppu Nomor 1 Tahun 2014. Pemungutan suara dilaksanakan tanggal 16 Desember 2015.
Namun, desain jadwal tersebut berpengaruh pada jadwal Pilkada serentak selanjutnya yang diatur Perppu. Serta pelaksanaan pemilu legislatif dan pemilu presiden serentak pada 2019.
"Kami mempertimbangkan, sebagaimana diatur Perppu pascapileg dan Pilpres serentak 2019 maka akan ada Pilkada serentak nasional tahun 2020. Dalam rangka pikir itu kami membahas kemudian merumuskan bahwa lebih baik antara daerah-daerah yang kepala daerahnya berahir masa jabatan 2015 dan 2016 digabung ke 2016," jelasnya.
Sementara kepala daerah yang masa jabatannya berakhir 2017 dan 2018 digabung ke 2017. Kepala daerah yang berakhir di 2019 maka diusulkan KPU, pemilihannya dilakukan pada jadwal berikutnya setelah pemilu serentak 2019.
"Dengan demikian, maka kami mengusulkan agar agar Pilkada 2015 dan 2016 bisa dilakukan di 2016.Untuk 2017 dan 2018 perlu dipertimbangkan dilakukan di 2017, dan selanjutkan Pilkada serentak nasional 2021," katanya,
Jika dipaksakan Pilkada serentak tahun 2015, menurutnya akan menimbulkan kesulitan dalam pelaksanaanya. Mengingat bulan Desember merupakan musim hujan, ombak besar, tanah longsor dan banjir. Menyebabkan transportasi sulit dan berdekatan dengan kegiatan keagamaan nasrani.
Selain itu, pada 2016 kepala daerah yang berakhir masa jabatannya mencapai 100 daerah. Sehingga jika pilkada dilakukan 2018, akan menunggu terlalu lama. Tak hanya itu, pada 2018 penyelenggara pemilu juga harus menyiapkan pelaksanaan pileg dan pilpres serentak pada 2019.
"Volume kerja akan meningkat, kalau serentak 2018 akan menyulitkan penyelenggara untuk memfasilitasi pilkada 2018," ujar Husni.