Rabu 21 Jan 2015 16:25 WIB

Revisi UU Pilkada Jangan Mengubah Hal Fundamental

Rep: Ira Sasmita/ Red: Mansyur Faqih
Hasil survei Lingkaran Survey Indonesia (LSI) menunjukkan masyarakat mayoritas mendukung Perppu Pilkada langsung di Jakarta, Kamis (2/10).
Foto: Republika/Tahta Aidilla
Hasil survei Lingkaran Survey Indonesia (LSI) menunjukkan masyarakat mayoritas mendukung Perppu Pilkada langsung di Jakarta, Kamis (2/10).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengundang pakar untuk membahas kemungkinan revisi UU Pilkada. Pakar hukum tata negara Universitas Parahyangan Asep Warlan Yusuf mengatakan, revisi jangan sampai mengubah hal fundamental.

"Revisi itu jangan sampai terjadi perubahan di hal-hal yang fundamental. Misalnya nanti direvisinya ternyata diubah jadi sistem paket," kata Asep, Rabu (21/1).

Menurut dia, DPR dan pemerintah harus mampu menghilangkan poin-poin yang direvisi. Lantaran tahapan harus segera dimulai. Apalagi, KPU harus memastikan jadwal, tahapan dan alur pilkada serentak melalui peraturan KPU.

Asep melanjutkan, ada beberapa usulan revisi yang disampaikan fraksi di DPR yang patut dipertimbangkan. Misalnya usulan mempersingkat tahapan uji publik. 

Dalam UU Pilkada disebutkan uji publik dilaksanakan secara terbuka paling lambat tiga bulan sebelum pendaftaran calon. Sementara pendaftaran calon didahului pendaftaran bakal calon yang dijadwalkan cukup panjang. Pendaftaran bakal Calon dilaksanakan enam bulan sebelum pembukaan pendaftaran calon.

Usulan revisi lain yang harus dipertimbangkan adalah mekanisme penyelesaian sengketa. UU Pilkada menyebutkan sengketa dibawa ke Mahkamah Agung. Namun ada usulan dari MA agar dibentuk badan khusus. Usul tersebut juga disampaian beberapa fraksi.

Pakar hukum tata negara Universitas Andalas Saldi Isra menambahkan, KPU perlu menyampaikan poin yang perlu direvisi kepada DPR. Sebagai penyelenggara, masukan dari KPU bisa dipertimbangkan DPR dalam proses revisi.

"KPU menurut saya harus mengusulkan bagaimana tahapan harus dipersingkat. Misalnya uji publik itu tiga bulan kan kepanjangan," kata Saldi.

Saldi juga menyarankan uji publik sebaiknya dilakukan oleh parpol secara terbuka. Lalu hasilnya diserahkan ke KPU.

Selain lama uji publik, menurutnya, DPR juga perlu mempertimbangkan mempersingkat masa penyelesaian sengketa. "Penyelesaian sengketa saja tujuh bulan. Kalau itu diberitahukan KPU, pembentuk undang-undang bisa berpikir ulang mempersingkat waktu," ujar Saldi.

Ketua KPU Husni Kamil Manik mengatakan, KPU telah menyusun daftar inventarisasi masalah (DIM) pilkada serentak ke Komisi II DPR. KPU berharap, DIM tersebut bisa menjadi pertimbangan dalam revisi terbatas UU Pilkada yang akan dilakukan DPR.

"Kami siapkan DIM. Saat koordinasi antara KPU dengan Komisi II, atau dengan kemendagri, atau bersama-sama dengan Bawaslu kami harap bisa dibahas dan jadi masukan," kata Husni.

DIM tersebut antara lain menyangkut lamanya tahapan, waktu pelaksanaan pilkada serentak, hingga masa penyelesaian sengketa. KPU juga mempertimbangkan penghapusan beberapa pasal dalam UU Pilkada yang sifatnya pengulangan.

Beberapa tahapan yang menjadi sorotan KPU antara lain proses uji publik. Dalam perppu yang telah diundangkan, diatur uji publik dilakukan selama enam bulan. Menurut Husni, perlu ditinjau kembali lama dan rentang waktu dari setiap tahapan.

"Kami mengajukan perubahan yang prinsip saja. Misalnya penyelenggaraan butuh waktu yang singkat maka kami ajukan pengurangan waktu," ungkapnya.

Sementara menyangkut waktu pelaksanaan pilkada serentak, menurut Husni, pada dasarnya KPU siap menggelar pilkada serentak 2015 sesuai undang-undang. Namun, KPU juga memiliki pertimbangan lain bila pelaksanaan diundur ke 2016. Digabung dengan pemilihan kepala daerah yang masa jabatannya habis pada 2016.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement