Ahad 18 Jan 2015 16:54 WIB

Konflik dan Bencana Picu Anak Jadi Berkebutuhan Khusus

Sejumlah anak berkebutuhan khusus merangkai kalung berbahan manik-manik pada pelajaran keterampilan di Jakarta.
Foto: Rakhmawaty La'lang/Republika
Sejumlah anak berkebutuhan khusus merangkai kalung berbahan manik-manik pada pelajaran keterampilan di Jakarta.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kondisi konflik dan bencana di daerah bisa memicu seorang anak menjadi berkebutuhan khusus. Pendapat itu disampaikan psikolog Poppy Amalya.

"Terutama apabila ibunya mengandung anak tersebut pada saat konflik dan bencana," ujar Poppy di Jakarta, Ahad (18/1).

Ia mencontohkan Aceh, yang mengalami konflik Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sekitar 35 tahun dan kemudian terjadi tsunami dahsyat pada 2004. "Saya meneliti setelah tsunami yang menghantam Aceh. Hasilnya dari lima rumah terdapat satu anak yang berkebutuhan khusus," jelas dia.

Berkebutuhan khusus tersebut bisa berupa difabel, autis, gangguan kepribadian hingga down syndrome. Poppy mengaku tidak tahu mengapa hal tersebut bisa terjadi.

Anak-anak di daerah konflik maupun bencana sebenarnya memiliki kecerdasan intelektual. "Saya melakukan psikotes di Aceh pascatsunami. Anak-anak di sana jago di bidang komputer, namun pengendalian emosionalnya kurang. Antara kecerdasan intelektual (IQ) dan kecerdasan emosi (EQ) tidak stabil. Hal itu yang membuat anak-anak itu lamban dalam menangkap pengetahuan," papar dia.

Untuk mengatasi persoalan tersebut perlu dilakukan pendekatan secara emosional, sehingga IQ dan EQ anak tersebut menjadi stabil. Berangkat dari keprihatinan melihat anak-anak korban konflik itulah, Poppy terpanggil mendirikan Yayasan Amanah Kamome dan sekolah ABK My Hope. Melalui dua lembaga ini Poppy berupaya memberikan kemampuannya sebagai seorang motivator psikologi bagi anak-anak Aceh.

My Hope, kata Poppy merupakan sebuah sekolah alternatif bagi ABK (Anak Berkebutuhan Khusus), dengan penerapan metode ABA (Apply Behaviour Analysis), sebagai sebuah metode yang terbukti paling berhasil di dunia menjadikan anak autis meninggalkan dunia autisnya.

"Dengan metode ikhlas, saya berhasil memperbaiki anak-anak berkebutuhan khusus bisa tumbuh dan berkembang jauh lebih baik," tukas dia.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement