Sabtu 17 Jan 2015 12:56 WIB

DKI Diminta Bangun Rusun Bagi Komuter

 Seorang anak bermain ayunan di area rusun Marunda, Cilincing, Jakarta Utara, Kamis (11/9).     (Republika/Edwin Dwi Putranto)
Seorang anak bermain ayunan di area rusun Marunda, Cilincing, Jakarta Utara, Kamis (11/9). (Republika/Edwin Dwi Putranto)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Indonesia Property Watch menyatakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta juga perlu memperhatikan pembangunan rumah susun bagi kaum komuter atau mereka yang tinggal di luar ibukota tetapi berkontribusi bagi perekonomian Jakarta.

"Sangat disayangkan rusunawa (rumah susun sederhana sewa) yang disediakan baru hanya untuk sebagian kecil masyarakat dan umumnya masyarakat yang bekerja di sektor informal. Ironisnya rusunawa ini tidak menjangkau kaum komuter yang notabene sebagai karyawan tingkat menengah," kata Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch Ali Tranghanda, Sabtu (17/1).

Menurut dia, fokus Pemprov DKI Jakarta dalam membangun rusun seharusnya tidak hanya untuk sektor informal, karena sebenarnya penduduk komuter juga harus mendapatkan perhatian serius. Apalagi, ia mengingatkan bahwa penduduk Jakarta yang berjumlah sekitar 10 juta orang akan bertambah pada waktu siang dan sore hari hingga menjadi sebanyak 12-13 juta.

"Tambahan ini terjadi karena Jakarta sebagai kota urbanisasi dengan banyaknya kaum pekerja di Jakarta sebagai komuter yang bertempat tinggal di daerah penyangga pinggiran Jakarta," katanya.

Ali menyatakan bahwa penduduk komuter yang termasuk kaum menengah "tanggung" itu mempunyai dilema dan dapat sewaktu-waktu terjebak dalam jebakan pasar rumah.

Ia mencontohkan, kaum menengah setingkat manajer dengan penghasilan Rp 5-7 juta per bulan sulit untuk membeli rumah. Dengan penghasilan tersebut, mereka diperkirakan mempunyai daya cicil Rp 1,5-2,5 juta per bulan yang berarti dapat membeli rumah dengan harga Rp 300-400 juta.

Daya beli itu, ujar dia, belum termasuk kemampuan uang muka yang umumnya menjadi salah satu faktor penghambat untuk dapat merealisasikan pembelian rumahnya. Umumnya mereka juga kesulitan juga untuk mengumpulkan uang muka.

"Dengan harga rumah seperti itu, maka tentunya akan sulit untuk mempunyai rumah di wilayah Jabodetabek. Kalaupun ada maka mereka harus memperhitungkan biaya transportasi setiap harinya untuk bekerja di Jakarta sebagai kaum komuter," katanya.

Kemudian, disebabkan lokasi rumah tersebut mempunyai jarak tempuh yang jauh dari tempat mereka kerja di Jakarta, maka rumah tersebut dibiarkan kosong dan kembali menyewa hunian di Jakarta.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement