Kamis 15 Jan 2015 21:57 WIB

Walhi: Perizinan Pelabuhan Cilamaya Cacat Hukum

Pelabuhan Cilamaya (Ilustrasi)
Foto: IST
Pelabuhan Cilamaya (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, CILAMAYA -- Manajer Kampanye Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Ode Rakhman menyatakan, pemerintah tidak bisa memaksakan pembangunan Pelabuhan Cilamaya, Karawang, Jawa Barat. Bahkan, ia menilai jika Menteri Perhubungan Ignasius Jonan bersikukuh dan mengatasnamakan Presiden Jokowi demi merealisasikan pelabuhan tersebut, maka segala perizinan terkait pembangunan pelabuhan itu tetap cacat hukum.

Menurut Ode, dengan terbenturnya rencana pembangunan pada persoalan Amdal, seharusnya pemerintah langsung menghentikan. Bukan malah terkesan memaksakan. “Karena jika dipaksakan pun, pembangunan pelabuhan harus batal demi hukum karena semua perizinannya cacat hukum,” ujarnya, Kamis (15/1).

Menurutnya, Amdal merupakan syarat mutlak dalam menerbitkan izin lokasi dan izin lingkungan. Dan dalam posisi saat ini, ketika Amdal bermasalah, tak seorang pun yang berhak mengklaim bisa melanjutkan pembangunan Pelabuhan Cilamaya.

“Jangankan Menteri Perhubungan, Presiden Jokowi pun tidak bisa, karena presiden harus tunduk pada undang-undang,” kata Ode.

Ode menambahkan, bermasalahnya Amdal, merupakan bukti bahwa rencana pembangunan itu pun sebenarnya bermasalah sejak awal. Misalnya, tidak melibatkan partisipasi warga atau nelayan. Padahal, konsekuensi pembangunan pelabuhan itu cukup sinifikan, karena bisa mempersempit wilayah tangkap para nelayan.

Salah satu dampak terburuk yang cukup mencemaskan, adalah potensi munculnya gejolak sosial. Termasuk di antaranya, konflik horizontal antarwarga, misalnya para nelayan. Potensi konflik ini tidak bisa dipandang sebelah mata, sebab sangat memungkinkan bisa meluas. Tidak saja dilihat dari kesamaan sosial, namun juga wilayah.

Untuk itu Ode mengingatkan, agar Pemerintah tidak main-main dengan potensi konflik tersebut. Apalagi, pihak-pihak yang berkepentingan dengan rencana pembangunan Pelabuhan Cilamaya, sudah pasti akan berusaha mempengaruhi warga agar menyetujui rencana tersebut. Keterlibatan pihak yang berkepentingan adalah keniscayaan, lanjut Ode, untuk menggembosi suara warga yang menolak.

Salah satu dampak terburuk yang cukup mencemaskan, adalah potensi munculnya gejolak sosial. Termasuk di antaranya, konflik horizontal antarwarga, misalnya para nelayan. Potensi konflik ini tidak bisa dipandang sebelah mata, sebab sangat memungkinkan bisa meluas. Tidak saja dilihat dari kesamaan sosial, namun juga wilayah.

Untuk itu Ode mengingatkan, agar Pemerintah tidak main-main dengan potensi konflik tersebut. Apalagi, pihak-pihak yang berkepentingan dengan rencana pembangunan Pelabuhan Cilamaya, sudah pasti akan berusaha memengaruhi warga agar menyetujui rencana tersebut. Keterlibatan pihak yang berkepentingan adalah keniscayaan, lanjut Ode, untuk menggembosi suara warga yang menolak.

Di sinilah permasalahan bisa kian runcing. Karena, di antara warga yang semula menolak, pasti ada yang terpengaruh, entah karena iming-iming uang dan sebagainya. “Makanya, pemerintah seharusnya tegas. Sebab jika dipaksakan, masyarakat yang akan menjadi korban. Apakah pemerintah mau menjadikan rakyat sebagai korban?” kata Ode.

Dalam kondisi seperti itulah, pemerintah harus menjelaskan, mengapa sangat bersikukuh melanjutkan pembangunan Pelabuhan Cilamaya. Padahal, harga yang harus dibayar akibat konflik horizontal sangatlah besar. “Makanya sangat aneh, jika pemerintah justru terlihat ngotot. Bisa jadi, sikap tersebut akibat adanya intervensi dari Jepang selaku penanam modal,” katanya.

Seperti diketahui rencana pembangunan Pelabuhan Cilamaya terbentur persoalan Amdal. Bahkan menurut Deputi I Bidang Tata Lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Imam Hendargo, izin Amdal untuk pembangunan Pelabuhan Cilamaya sulit diterbitkan, mengingat banyak permasalah terkait lingkungan, sosial, dan ekonomi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement