Rabu 14 Jan 2015 13:18 WIB

KPK Periksa Ketua Pengadilan Negeri Surabaya

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Foto: Republika/Tahta Aidilla
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi memanggil Ketua Pengadilan Negeri (PN) Surabaya Nur Hakim dalam penyidikan perkara dugaan tindak pidana korupsi tukar-menukar kawasan hutan di kabupaten Bogor, Jabar.

Kasus tersebut dengan tersangka Presiden Direktur PT Sentul City, sekaligus presiden komisaris PT Bukit Jonggol Asri Kwee Cahyadi Kumala. "Yang bersangkutan diperiksa untuk tersangka KCK (Kwee Cahyadi Kumala)," kata Kepala Bagian Pemberitaan dan Infromasi KPK Priharsa Nugraha di Jakarta, Rabu (14/1).

Nur Hakim sebelumnya adalah Ketua PN Bandung, Nur Hakim yang menunjuk dirinya sendiri sebagai ketua majelis kasus korupsi Bupati Bogor, Rachmat Yasin pada Oktoer 2014. Padahal, saat itu Nur Hakim telah dimutasi ke PN Surabaya. Komisi Yudisial pun melakukan investigasi hal tersebut.

Kemarin, KPK memeriksa Hakim Agung Timur P Manurung dalam kasus yang sama. Timur adalah Ketua Muda Pengawasan yang bertugas sebagai pengawas internal sekitar 7.000 hakim se-Indonesia. "Saya memeriksa hakim di Pengadilan Negeri di Bandung. Apakah mereka ada keterpengaruhan dari pihak lain atau dari siapa saja," kata Timur seusai diperiksa KPK pada Selasa (13/1).

Dia mengaku, mengusut mengenai hakim-hakim yang memengaruhi putusan terhadap terdakwa lain kasus tersebut yaitu anak buah Cahyadi, Yohan Yap yang hanya divonis 1,5 tahun penjara di PN Bandung. "Kami klarifikasi apakah ada hakim-hakim yang terpengaruh oleh siapa saja terhadap putusan dari Yohan," tambah Timur.

Rachmat Yasin sendiri sudah divonis bersalah dan divonis 5,5 tahun penjara. Cahyadi Kumala oleh KPK disangkakan pasal 5 ayat 1 huruf a atau b atau pasal 13 UU No. 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.

Pasal tersebut mengatur tentang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya dengan ancaman pidana penjara 1-5 tahun dan denda Rp 50-250 juta.

Selanjutnya KPK juga menyangkakan dugaan perbuatan merintangi penyidikan berdasarkan pasal 21 No. 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.

Pasal tersebut mengenai setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang terdakwa maupun para saksi dengan ancaman pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 12 tahun dan atau minimal Rp 150 juta dan maksimal Rp 600 juta.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement