Selasa 13 Jan 2015 16:11 WIB

Terlalu Lama di Laut, Jenazah Korban Air Asia Makin Sulit Diidentifikasi

Rep: C74/ Red: Bayu Hermawan
Karangan bunga untuk korban maskapai Air Asia QZ8501.
Foto: Reuters
Karangan bunga untuk korban maskapai Air Asia QZ8501.

REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Ahli Patologi Forensik Rumah Sakit Dr. Soetomo, Sukri Irfan Kusuma mengatakan semakin lama jenazah berada di dalam laut maka semakin sulit teridentifikasi.

Sukri mengatakan kondisi jenazah amat bersangkutan dengan kandungan kimia di dalam laut. Air laut  mengandung kadar NHCL yang tinggi antara 3 sampai 6%.  Sementara tubuh manusia hanya hanya mengadung 0,9 % NHCL. Kadar NHCL yang tinggi tersebut yang merusak jaringan lunak ditubuh manusia. Sehingga sidik jari sulit teridentifikasi.

"Yang ada sisanya rambut, gigi, tulang. Karena kadar tinggi itu masuk ke tiap pori-pori," katanya, di Mapolda Jawa Timur, Selasa (12/1).

Ada lima hal, yang dilakukan untuk mengidentifikasi jenazah, antara lain pemeriksaan tempat kejadian (TKP), pengumpulan data post mortem dan data ante mortem, rekonsiliasi dan debrifing.

Menurutnya sampai saat ini, semua ilmuwan masih bekerja. Para ahli gigi, sidik jari, kedokteran forensik, antropologi forensik, ahli properti, dan ahli deoxyribo-nucleic acid (DNA) terus mengumpulkan data-data post mortem.

Data-data post-mortem yang diambil oleh para ahli disesuaikan dengan data antemortem. Dalam definisi DVI, antemortem adalah pengumpulan data ciri-ciri orang hilang semasa hidup.

Data antemortem yang bisa dikumpulkan misalnya ciri khusus tubuh, berat badan, tinggi badan, tato, gigi behel, tindik, bekas operasi, penanaman pen pada tulang, dan properti yang dikenakan korban sebelum meninggal.

Lalu para ahli merekonsiliasi data yang mereka dapat untuk membandingkan data antemortem dengan post mortem. Jika cocok, maka jenazah teridentifikasi. Ia menjelaskan, DVI memiliki dua metode dalam identifikasi.

Yang pertama ialah metode primer yang merupakan pencocokan data sidik jari, sidik gigi, dan DNA. Kemudian yang kedua adalah metode sekunder yaitu pencocokan data medis dan properti.

Dalam sidang rekonsiliasi, para ilmuwan harus mengajukan argumentasi supaya identifikasi menjadi kuat. Kalau argumentasinya lemah, maka identifikasinya lemah.

Saat ini, lanjut Dr. Sukri, data ante mortem sangat membantu. Selama ini pengetahuan tentang properti yang dikenakan jenazah berdasarkan keterangan keluarga sangat membantu.

"Keluarga diperlihatkan CCTV lalu mereka mengenali keluarga mereka, ini mbakyuku, ini ibuku, nah bajunya dicocokan dengan jenazah," jelas Sukri.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement