REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar Hukum Pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar mengatakan, jika ditinjau dari aspek legalitas langkah Mahkamah Agung (MA) mengeluarkan surat edaran membatasi peninjauan kembali (PK) perkara pidana sudah tepat.
Menurutnya MA memiliki landasan hukum mengeluarkan surat edaran yakni UU Kekuasaan Kehakiman dan UU MA yang masih berlaku.
"Kalau pendekatannya normatif, menganut asas legalitas MA benar 1100 persen. Kaarena yang dibatalkan MK pasal dalam UU KUHAP," kata Abdul saat dihubungi, Rabu (7/1).
Namun, jika menggunakan pendekatan substantif putusan MK menurutnya tidak bisa juga diabaikan. Karena dalam peradilan pidana, yang digunakan adalah UU KUHAP. Sementara pasal pengajuan PK hanya satu kali sudah dibatalkan MK.
Ia melanjutkan, MA seharusnya surat edaran lebih memfokuskan pada pembatasan materi PK. Abdul Fickar menjelaskan, terpidana boleh mengajukan PK lebih dari satu kali sepanjang tidak mengajukan bukti yang sama dua kali.
Sehingga juka terpidana mengajukan bukti yang sama, PK bisa langsung ditolak. Apalagi ketika PK diajukan oleh terpidana kasus narkoba.
"Yang ditunda eksekusinya itu kan kasus narkoba. Narkoba apa lagi sih yang mau diajukan bukti di PK-nya," ucapya.
Ia menyarankan agar tidak terjadi silang pendapat antara MK dan MA, pembatasan PK sebaiknya dituntaskan dalam revisi UU KUHAP.
Perubahan yang masih terus dibahas DPR menurutnya harus menjadikan pembatasan PK sebagai salah satu prioritas.Agar ke depannya tercipta kepastian hukum yang jelas.
PK menurutnya dibatasi hanya dua kali. Pertimbangannya, untuk memberi kesempatan kepada kedua belah pihak. Baik terpidana maupun jaksa.
"Ini kesempatan untuk memperbaiki dalam revisi UU KUHAP di DPR. Sebaiknya memang dibatasi, pengajuan PK cukup dua kali," ujarnya.
Seperti diketahui, MA menerbitkan Surat Edaran MA (SEMA) Nomor 7 Tahun 2014 tentang peninjauan kembali (PK) hanya satu kali. SEMA tidak menyatakan putusan MK nomor 34/PUU-XI/2013 yang membolehkan PK berkali-kali tidak mempunyai kekuatan hukum.
Namun MK menilai SEMA tersebut membangkang putusan MK sebagai putusan konstitusi tertinggi.