REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Izin pembangunan pelabuhan Cilamaya, Karawang, Jawa Barat sulit diterbitkan. ada dua alasan, yakni pembangunan itu terbentur persoalan lingkungan, sosial, dan ekonomi. Selanjutnya, fatwa kajian amdal dari Kementerian Koordinator Perekonomian juga belum keluar.
“Untuk kajian (bidang ekonomi) Amdal Cilamaya ini, kami juga sudah meminta fatwa kepada Kementerian Koordinator Perekonomian, sejak 23 Desember 2013 lalu. Tapi sampai sekarang belum ada surat jawaban,” ujarnya Deputy I Bidang Tata Lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup Imam Hendargo di Jakarta, Kamis (11/12).
Ia mengungkapkan, pembangunan Pelabuhan Cilamaya, jika direalisasikan tidak hanya mengganggu dua proyek strategis nasional seperti perluasan Tanjung Priok dan ekplorasi migas. Tetapi juga bakal mengganggu ekosistem dan biota laut.
Bahkan yang paling mengerikan adalah menimbulkan bencana besar di perairan Karawang. Bencana yang dimaksud Imam adalah meledaknya pipa-pipa gas yang telah dibangun oleh Pertamina sejak lama.
“Ada tumpang tindih dengan Pelabuhan Tanjung Priok dan Migas. Sehingga kami tidak bisa memerikan izin Amdal. Ditambah pula dalam kajian sosial dan lingkungan juga tidak terpenuhi. Jadi sangat tepatlah kalau dibatalkan,” tandasnya.
Di samping itu, kata Imam, penolakan dari kalangan Nelayan dan Petani Jawa Barat juga menjadi bagian dari aspek sosial Amdal. Dengan penolakan masyarakat, maka dari sisi Amdal, pembangunan Pelabuhan Cilamaya tidak layak. Ditambah lagi dalam kajian aspek lingkungan hidup, di perairan Karawang ini banyak biota laut yang harus dilestarikan, bakal terganggu dengan adanya pelabuhan Cilamaya.
“Jadi seharusnya pak Menteri Jonan bisa membicarakan dulu rencana kelanjutan Pelabuhan Cilamaya ini. Dengan Pertamina, dengan Pelabuhan Tanjung Priok, juga dengan masyarakat dan Kementerian Lingkungan Hidup. Kalau tak layak secara sosial, ya tidak boleh dibangun. Apalagi kalau secara aspek lingkungan hidup dan kajian ekonominya mengganggu aset strategis nasional yang sudah ada,” ujarnya.