REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta, Samsuddin Nurseha mengatakan seharusnya para koruptor tidak hanya dijerat dengan pasal Tindak Pidana Korupsi saja, namun pasal pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
"Jangan hanya menggunakan Undang-undang (UU) Tipikor saja, tapi juga memakai komponen perundangan lain terkait pelanggaran hak asasi manusia (HAM)," kata Samsuddin di Yogyakarta, Kamis (11/12).
Menurutnya praktik korupsi yang terus menerus terjadi telah merampas pemenuhan hak sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat, yang pemenuhannya diatur Undang-undang Nomor 11 Tahun 2005. Oleh karena itu, kata dia, perlu ditindak dengan prespektif HAM.
"(Korupsi) bukan hanya kejahatan kriminal biasa, melainkan sudah masuk kejahatan kemanusiaan," katanya.
Dengan penggolongan praktik korupsi sebagai pelanggaran HAM, menurut dia diharapkan hukuman bagi koruptor akan semakin berat. Menurut dia, hinga saat ini hukuman bagi koruptor rata-rata masih ringan, antara dua hingga empat tahun penjara, sehingga belum maksimal memberikan efek jera.
"Sehingga, koruptor biasanya masih bisa melambaikan tangan, karena sudah memprediksikan bahwa hukumannya tidak terlalu berat," katanya.
Data Indonesian Corruption Watch (ICW) hingga Maret 2014 menunjukkan dari 734 kasus korupsi, sebanyak 593 di antaranya dinyatakan bersalah, 101 diputuskan bebas, 31 divonis lepas, dan sembilan kasus dinyatakan tidak diterima.
"Namun, dari seluruh terpidana korupsi tersebut belum ada satu pun yang dijatuhi hukuman maksimal, sehingga secara psikologis tidak memberi efek jera," ujarnya.