REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Pendiri Mizan Group Haidar Bagir menyebut Pangeran Diponegoro sebagai seorang penganut paham Wahdatul Wujud.
Hal itu diungkapkannya saat memberikan materi dalam seminar bartajuk 'Agama, Politik, dan Keserasian Sosial dalam Perspektif Perbandingan' yang digelar Akademi Jakarta di Hotel Gren Alia Cikini, Rabu (10/12).
Menurut Haidar, fakta tersebut diungkap oleh sejarawan Peter Carey dalam bukunya 'Destiny: The Life of Prince Diponegoro of Yogyakarta, 1785-1855'.
"Di situ Carey menjelaskan, Diponegoro ternyata menganut paham sufisme wahdatul wujud," kata Haidar.
Lebih lanjut Haidar menuturkan, Pangeran Diponegoro semasa hidupnya sering membaca kitab 'Al Tuhfah Al Mursalah ila Ruhin Nabiy' yang merupakan karangan tokoh sufi asal India, Muhammad Ibn Fadhilah al Burhanpuri.
Kitab tersebut, menurut Haidar, menjadi salah satu sumber berkembangnya ajaran wahdatul wujud di Indonesia pada masa lalu.
"Kitab itu dulu telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, termasuk Bahasa Jawa. Kandungan dari kitab itu memengaruhi pemikiran Pangeran Diponegoro dalam melakukan gerakan politiknya," ujar Haidar.
Wahdatul wujud adalah paham yang meyakini adanya penyatuan eksistensi makhluk dengan Sang Khalik. Bahkan, beberapa kalangan sufi meyakini bahwa orang yang menguasai teori tersebut juga mampu berlaku seperti Tuhan.
Dalam kamus Bahasa Jawa, konsep pemahaman semacam ini dikenal dengan istilah 'manunggaling kawula Gusti'. Beberapa tokoh sufi yang dipengaruhi oleh ajaran ini antara lain Ibnu Arabi, Syekh Siti Jenar, dan Hamzah Fansuri.
"Selain Pangeran Diponegoro, Ayatollah Khomeini juga seorang pengikut tasawuf Wahdatul Wujud," kata Haidar lagi.