REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Peneliti pada Pusat Kajian Anti-Korupsi Universitas Gadjah Mada Hifdzil Alim mengemukakan dinamika partai politik hingga kini belum mengisyaratkan adanya keberpihakan partai politik terhadap pemberantasan korupsi, melainkan hanya berkutat pada persoalan internal.
"Sama sekali belum ada keberpihakan kepada pemberantasan korupsi," katanya di Yogyakarta, Rabu (10/12).
Ia menilai keberpihakan partai terhadap pemberantasan korupsi seharusnya dapat menjadi kunci pemberantasan korupsi di berbagai lini jabatan publik. Sebab, seluruh penentuan jabatan publik harus melalui parlemen, sementara parlemen dikendalikan oleh partai.
Menurut dia, karut-marut internal partai politik menggambarkan bahwa partai selama ini hanya menjadi alat kepentingan kelompok.
"Parpol seharusnya berreinkarnasi dari alat elit menjadi alat publik, dan membenamkan dirinya ke arah yang lebih baik," kata dia.
Sikap partai yang tidak berpihak pada kepentingan publik apalagi pemberantasan korupsi itu, kata dia, diperjelas dengan konflik Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) yang tidak kunjung selesai.
Konflik kedua kubu itu, menurut dia, secara langsung merugikan penegakan hukum antikorupsi sebab pembahasan legislasi di sektor penegakan hukum menjadi tidak lancar.
"Seleksi pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga menjadi tertunda," kata dia.
Sementara itu, Koordinator Masyarakat Antikorupsi DIY Tri Wahyu mengatakan keengganan partai politik untuk memperhatikan efisiensi serta transparansi anggaran itu juga terbukti dengan penentuan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) DIY yang hanya berlangsung dalam kurun dua hari di DPRD DIY beberapa waktu lalu.
Padahal, menurut dia, penentuan APBD 2015 yang pada akhirnya diketok Rp3,6 triliun, idealnya dibahas dan dicermati selama dua bulan.
"Bagaimana mungkin anggaran daerah yang lampirannya beratus-ratus lembar diketok hanya dalam waktu dua hari," kata Tri.