Senin 08 Dec 2014 16:49 WIB

Kejari Tetapkan Rektor IAIN Cirebon Sebagai Tersangka Dugaan Korupsi

Rep: lilis/ Red: Damanhuri Zuhri
Kejaksaan Negeri (Ilustrasi)
Foto: Republika/ Yasin Habibi
Kejaksaan Negeri (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, CIREBON – Pemeriksaan kasus dugaan korupsi pengadaan tanah untuk kampus II IAIN Syekh Nurjati Cirebon, terus bergulir.

Kejaksaan Negeri (Kejari) Cirebon kini menetapkan Rektor IAIN Syekh Nurjati Cirebon, Maksum Muhtar, sebagai tersangka dalam kasus tersebut.

Hal itu disampaikan Kajari Cirebon, Acep Sudarman, saat memberikan penjelasan perkembangan perkara yang ditangani dan kinerja Kejaksaan Negeri Cirebon selama kurun waktu 2014, di hadapan wartawan, Senin (8/12).

Maksum merupakan pejabat kedua di lingkungan IAIN yang menjadi tersangka dalam kasus tersebut. Sebelumnya, Kejari terlebih dulu menetapkan Kepala Biro Administrasi, Umum dan Kemahasiswaan, Ali Hadiyanto, sebagai tersangka dan langsung menahannya di Rutan Kelas I Cirebon, Selasa (7/10) silam.

Acep mengakui, penetapan Maksum sebagai tersangka membutuhkan waktu yang cukup lama. Hal itu dikarenakan pihaknya harus menunggu hasil perhitungan kerugian negara yang dilakukan BPKP. ‘’Jadi bukan karena kerja penyidik kami lelet,’’ tegas Acep.

Kepala Seksi Tindak Pidana Khusus, Nusirwan Syahrul, menerangkan, penetapan status Maksum sebagai  tersangka dilakukan setelah penyidik mendapatkan dua alat bukti. Namun, dia enggan menjelaskan secara detail dua alat bukti tersebut karena merupakan bagian dari materi penyidikan.

‘’Yang pasti, kapasitas yang bersangkutan dalam kasus tersebut adalah selaku pengguna anggaran,’’ kata Nusirwan. Namun, hingga kini pihaknya belum melakukan pemanggilan terhadap Maksum sebagai tersangka.

Kasus itu bermula dari pengadaan tanah untuk pembangunan kampus II IAIN di Desa Astapada, Kecamatan Tengah Tani, Kabupaten Cirebon, pada tahun anggaran 2013 lalu.

Dari kebutuhan tanah seluas sekitar 6,7 hektare dengan anggaran sekitar Rp 16 miliar, sudah terbeli tanah seluas 40.190 meter persegi dengan harga sekitar Rp 8,6 miliar.

Namun, pengadaan tanah tersebut tidak dilakukan berdasarkan aturan hukum. Akibatnya, tanah tersebut tidak bisa dialihkan haknya atas nama negara atau IAIN Syekh Nurjati.

Padahal, berdasarkan aturan, paling lama 30 hari usai pembelian, tanah yang dibeli harus sudah beralih haknya kepada negara.

‘’Berdasarkan perhitungan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan Perwakilan Jawa Barat, kerugian negara dalam kasus tersebut mencapai Rp 8,2 miliar,’’ tutur Nusirwan.

Nusirwan menambahkan, mekanisme pengadaan tanah yang dilanggar yakni UU Nomor 2/2012 tentang Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum, serta Peraturan Presiden No 71/2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement