REPUBLIKA.CO.ID,YOGYAKARTA--Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI didorong untuk berani mengevaluasi pemekaran daerah yang semakin tidak terbendung dengan menata kembali struktur bangun pemerintahan daerah melalui penggabungan.
“DPD harus mengambil peranan untuk mewujudkan implementasi pembentukan daerah yang lebih baik,”papar staf pengajar Hukum Tata Negara Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Hestu Cipto Handoyo dalam FGD DPD tentang Positioning Paper dan Program Prioritas Komite 1DPD RI, Kamis (27/11).
Dalam UU Nomor 23 tahun 2004 Tentang Pemda juga telah memberikan dasar hukum yang kuat bagi DPD untuk terlibat secara aktif dalam proses penilaian terhadap Pembentukan Daerah Persiapan sebelum menjadi Daerah Otonom Baru.
Hestu menilai, kondisi yang berkembang saat ini menunjukkan pemekaran daerah tidak terkendali. Semata-mata hanya dimanfaatkan untuk pemenuhan nafsu politik kekuasaan, bahkan digunakan oleh elit politik daerah untuk memasuki ranah kekuasaan legislatif dan eksekutif daerah.
“Pemekaran daerah dianggap sebagai salah satu sarana untuk membuka ruang kekuasaan baru pasca perebutan kekuasaan di pemerintah daerah induk,”tuturnya.
Sementara itu dosen Hukum Tata Negara FH UGM Dian Agung Wicaksono melihat pilihan Indonesia menjadi negara kesatuan relatif tidak memberikan dampak signifikan bagi perkembangan daerah. Perkembangan politik hukum desentralisasi justru diarahkan pada keseragaman dalam menjawab keberagaman daerah di Indonesia.
“Konsep kewenangan dalam otonomi daerah tidak bisa didangkalkan atau ditukar pengertiannya dengan urusan,”tegas Dian.
Ia mengakui, praktik pelimpahan urusan melalui desentralisasi menimbulkan beberapa persoalan, seperti penyerahan urusan, perimbangan keuangan pusat dan daerah serta kemampuan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan-urusan pemerintahan yang telah diserahkan.
Dian mendesak adanya desain ulang pola pelimpahan urusan pemerintah pusat dan daerah, seperti dengan menerapkan pola model desentralisasi asimetris penuh.