Rabu 26 Nov 2014 16:30 WIB

Lima Kriteria Ideal Sosok KSAL dan KSAU Baru

Panglima TNI Jenderal TNI Moeldoko (kedua kiri) berjabat tangan bersama KSAD Letjen TNI Gatot Nurmantyo (kanan), KSAL Laksamana TNI Marsetio (kedua kanan) dan KSAL Marsekal TNI Ida Bagus Putu Dunia (kiri)
Foto: antara
Panglima TNI Jenderal TNI Moeldoko (kedua kiri) berjabat tangan bersama KSAD Letjen TNI Gatot Nurmantyo (kanan), KSAL Laksamana TNI Marsetio (kedua kanan) dan KSAL Marsekal TNI Ida Bagus Putu Dunia (kiri)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat militer Universitas Padjadjaran, Muradi mengatakan, ada lima kriteria sosok KASAL dan KSAU ke depan.

Pertama, kata dia, calon KSAL dan KSAU harus memahami poros maritim dunia. Karena cita-cita Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang ingin menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia terletak pada kekuatan pertahanan AL dan AU yang mumpuni dan disegani negara lain.

Kedua, tambah dia, calon KSAL dan KSAU harus figur yang tidak tersandera dengan problem sebelumnya atau memiliki persoalan di masa lalu. 

"Misal dalam kasus penimbunan BBM di Batam oleh oknum AL, calon KSAL bukan bagian dari yang melindungi, dan memerintahkan penimbunan tersebut. Atau dalam pengadaan alutsista di AU yang bermasalah, dia bukan dari jaringan tersebut. Sehingga, KSAL dan KSAU ini bukan sosok yang bagian dari yang bermasalah," kata dia.

Ketiga, sosok KSAL dan KSAU harus orang baru. Artinya, bukan dan tidak terlibat dalam rezim KSAL dan KSAU sekarang. 

Karena, KSAL dan KSAU saat ini merupakan bagian dan produk dari rezim pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Dengan kata lain, para jenderal bintang tiga saat ini juga bagian dan produk politik rezim SBY. 

Sementara, para jenderal bintang dua belum terpengaruh politik dan kepentingan politis pemerintahan SBY. Keempat, visi poros maritim dunia yang diimpikan Jokowi harus dikerjakan tanpa alasan apa pun oleh KSAL dan KSAU. 

"Misalnya, presiden minta tenggelamkan kapal illegal fishing, kerjakan saja, tidak perlu berbelit-belit menundanya dengan alasan prosedur dan lainnya. Karena hal itu persoalan pertahanan negara dan jadi kewenangan serta tanggung jawab presiden sebagai panglima tertinggi TNI," kata Muradi.

Kelima, ujarnya, KSAL dan KSAU harus miliki loyalitas terhadap kepentingan negara. Muradi tak memungkiri jika biasanya para jenderal bintang tiga umumnya mendekat ke parpol atau elite partai untuk meraih dukungan politik. Sehingga bisa dipilih sebagai kepala staf. 

Sikap mereka itu, katanya, sudah melanggar dan mencederai jiwa korsa dan UU TNI. "Harus ditegaskan bahwa TNI bebas dari politisasi praktis. TNI itu tidak boleh berpolitik praktis," katanya.

Karenanya, terbuka kemungkinan KSAL dan KSAU bisa dipilih dari mereka yang masih berbintang dua. Karena para jenderal berbintang dua masih bersih dari pengaruh parpol, dan kepentingan politis.

"Kalau sudah parah, ya ambil dari bintang dua saja. Sangat mungkin, karena itu kewenangan presiden. Kalau bintang tiga tidak ada yang layak, tidak bersih dari parpol, punya kepentingan politis dan miliki masalah masa lalu, dipilih saja dari bintang dua. Kan pernah di era SBY, kapolri diangkat dari bintang dua," ucap Muradi.

Ia menjelaskan, memilih KSAL dan KSAU dari bintang dua bukan hal buruk. Tapi sebaiknya dicari dulu calon yang berbintang tiga dengan lima kriteria di atas.

Pada 3 Desember mendatang, KSAL Laksamana Marsetio akan memasuki masa pensiun. Begitu juga KSAU Marsekal TNI Ida Bagus Putu Dunia yang akan masuk masa pensiun pada Februari 2015. 

Sejauh ini nama-nama yang dianggap layak antara lain dari AL, yakni Agus Purwoto, Widodo, dan Djoko Teguh. Sedangkan dari AU, yakni Syaugi, Agus Supriatna, Sudipo.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement