Sabtu 22 Nov 2014 16:55 WIB

Yusril: Tindak Pidana di Luar Tugas tak Termasuk Hak Imunitas DPR

Rep: Agus Raharjo/ Red: Mansyur Faqih
Yusril Ihza Mahendra
Foto: Republika/ Tahta Aidilla
Yusril Ihza Mahendra

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam UU MPR, DPR, DPD, DPRD (MD3) pasal 224 ayat 5 disebutkan, pemanggilan dan permintaan keterangan pada legislator yang diduga melakukan tindak pidana sehubungan dengan pelaksanaan tugasnya harus mendapat persetujuan tertulis dari mahkamah kehormatan dewan (MKD). Banyak penafsiran kalau dengan pasal itu membuat anggota DPR dapat kebal hukum.

Terlebih ditambah dengan ayat 7 yang memuat, jika MKD tidak memberi persetujuan, maka surat pemanggilan itu tidak memiliki kekuatan hukum atau batal demi hukum. Pasal ini dinilai sebagai upaya anggota dewan agar tidak tersentuh oleh hukum pidana.

Namun, pengamat hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra menilai, pasal tersebut hanya berlaku saat anggota dewan melakukan tugasnya. Yaitu saat memberi pendapat atau dalam sidang DPR. Di luar itu, posisi anggota DPR sama dengan masyarakat umum di mata hukum.

"Tindakan pidana di luar tugas atau sidang, tidak masuk dalam hak imunitas anggota DPR," kata Yusril saat dihubungi Republika, Sabtu (22/11).

Dalam pasal 224 memang ditegaskan, pemanggilan anggota DPR harus melalui persetujuan MKD, tapi ada klausul tindak pidana sehubungan dengan pelaksanaan tugasnya. Artinya, tindak pidana yang dilakukan oleh anggota DPR di luar kegiatannya untuk menjalankan tugas tidak perlu mendapat persetujuan tertulis dari MKD. 

Di aturan lain, yaitu di pasal 245 ayat 2 diatur kalau MKD tidak memberikan persetujuan tertulis dalam waktu 30 hari sejak permohonan maka pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan dapat dilakukan.

Sedangkan di pasal 245 ayat 3 dijelaskan persetujuan tertulis tidak berlaku jika anggota DPR tertangkap tangan melakukan tindak pidana. Hal ini juga tidak berlaku bagi anggota yang disangka melakukan tindakan pidana dengan ancaman pidana mati atau seumur hidup. Atau kejahatan terhadap kemanusiaan dan keamanan negara berdasarkan bukti permulaan yang cukup atau disangka melakukan tindak pidana khusus.

Menurut Yusril, saat ini memang memerlukan persetujuan MKD untuk memeriksa anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana saat melakukan tugas. Ini dikembalikan sesuai asasnya.

Karena dulu, kata dia, persetujuan untuk memeriksa anggota DPR harus dengan persetujuan presiden. "Harus dikembalikan ke asasnya, sebab dulu justru harus dengan persetujuan presiden," imbuh Yusril. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement