Sabtu 22 Nov 2014 00:20 WIB

Bentrok TNI-Polri di Batam, Jokowi Diminta Bentuk Tim Investigasi

Rep: Ahmad Islamy Jamil/ Red: Bilal Ramadhan
 Presiden Jokowi dan Ibu Negara Iriana terbang ke Singapura dengan menggunakan pesawat komersial kelas ekonomi.
Foto: Republika/Halimatus Sa'diyah
Presiden Jokowi dan Ibu Negara Iriana terbang ke Singapura dengan menggunakan pesawat komersial kelas ekonomi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Insiden penyerangan Markas Komando (Mako) Brimob di Batam oleh sejumlah oknum anggota TNI Batalyon Infanteri (Yonif) 134/Tuah Sakti di Batam, Rabu (19/11) lalu, kembali mencoreng wajah militer Indonesia.

LSM Imparsial berpandangan, pimpinan TNI sudah sepantasnya mengevaluasi para komandan batalyon hingga Pangdam yang bertugas dalam ruang lingkup Komando Daerah Militer (Kodam) Bukit Barisan. “Para komandan tersebut dapat dianggap tidak dapat melakukan pembinaan dan pengendalian terhadap pasukannya,” tutur Direktur Eksekutif Imparsial, Poengky Indarti, di Jakarta, Jumat (21/11).

Ia mengatakan, Imparsial turut prihatin atas jatuhnya korban dari warga sipil maupun anggota TNI yang meninggal dalam peristiwa penyerangan pada Rabu lalu. Oleh karenanya, Imparsial meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) agar segera memerintahkan Menkopolhukam untuk membentuk tim inverstigasi untuk mengusut tuntas kasus ini.

“Tim investigasi itu tidak hanya terdiri dari unsur TNI-Polri, tetapi juga pemerintah daerah yang diwakili oleh Wakil Gubernur, Komnas HAM, Kompolnas (Komisi Kepolisian Nasional), ahli forensik independen, dan elemen masyarakat sipil,” kata Poengky.

Dia berpendapat, pembentukan tim investigasi ini bertujuan untuk menciptakan akuntabilitas dan transparansi dalam mengusut peristiwa penyerangan itu hingga menyebabkan jatuhnya korban jiwa. Selama ini, kata dia, kerja tim investigas gabungan TNI-Polri dalam mengusut kasus-kasus bentrokan antara anggota kedua institusi tersebut dinilai kurang transparan dan akuntabel.

Karena alasan inilah, menurutnya, unsur-unsur lain perlu dilibatkan dalam tim. Dari berbagai kasus bentrokan antara TNI-Polri yang terjadi selama ini, kata Poengky lagi, setidaknya ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya konflik.

Antara lain yaitu semangat esprit de corps (jiwa korsa) yang keliru, budaya penghormatan terhadap hukum yang rendah, arogansi, faktor kesejahteraan yang rendah, dan disiplin dan kendali komandan yang lemah.

“Selain itu, sanksi hukum yang tidak maksimal terhadap anggota yang melanggar hukum, minimnya komunikasi antar anggota TNI-Polri, serta adanya dugaan keterlibatan di dalam bisnis ilegal juga ikut memicu konflik antar kedua kelompok beda instansi tersebut,” imbuhnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement