REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Konsep revolusi mental telah diperkenalkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla (JK) kepada publik. Implementasinya pun terlihat sangat jelas.
Konsep revolusi mental itu tampak dari perilaku pemerintah yang terkesan menentang tradisi dan konvensi kenegaraan di Indonesia. Dalam kurun waktu sebulan pemerintahan Jokowi-JK, secara lahiriah, Presiden Jokowi memulai revolusi mental dengan mengumumkan nama-nama menteri Kabinet Kerja di halaman istana negara. Pengumuman itu dilengkapi dengan kemeja putih lengan panjang Presiden Jokowi dan para menterinya yang digulung ke atas.
Meskipun Wapres JK menggunakan kemeja lengan pendek tanpa digulung, namun tidak ada jas dalam pengumuman para calon menteri di halaman istana negara itu. Kejutan lainnya pun terlihat ketika pelantikan para menteri di ruang utama istana negara. Para menteri dan seluruh tamu undangan sama-sama memakai dresscode batik ,tidak ada yang menggunakan setelan pentalon jas dan dasi lengkap.
Sejak masa Presiden Soeharto hingga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), pengumuman dan pelantikan para menteri selalu mengunakan setelan jas lengkap dengan dasi. Namun, cara berbeda ditunjukkan pemerintahan Jokowi-JK kepada publik saat mengumkan dan melantik para menterinya.
Kontroversi Pemerintahan Jokowi-JK ternyata tidak berhenti sampai di situ. Salah satunya ialah Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti. Menteri ini segera mengundang perhatian publik dengan prilaku dan kondisi fisik yang menentang tradisi kenegaraan. Bayangkan saja, sehabis diumumkan menjadi menteri, Susi pun merokok di depan para jurnalis di halaman istana negara.
Tidak berhenti sampai di sana, Menteri Susi ternyata tidak lulus SMA dan foto kakinya yang bertato tersebar luas di berbagai media, termasuk media sosial. Sejak era Presiden Soekarno hingga Presiden Jokowi, mungkin baru Menteri Susi saja yang fisiknya bertato.
Kejutan-kejutan pemerintahan Jokowi-JK ternyata tidak berhenti sampai di situ. Baru sebulan memerintah, Presiden Jokowi berani ambil resiko menaikkan harga BBM, tepat pada Selasa (18/11), pukul 00.00 WIB.
Dengan kemeja putih lengan panjang, Presiden Jokowi mengumumkan kenaikan harga Premium dari Rp 6.500 per Liter menjadi Rp 8.500 per Liter. Sementara harga Solar mengalami kenaikan dari Rp 5.500 per Liter menjadi Rp 7.500 per Liter. Jadi, harga bahan bakar minyak (bbm) mengalami kenaikan sebesar Rp 2.000 per Liter.
Anehnya, kenaikan harga BBM ini dilaksanakan saat harga minyak dunia mengalami penurunan. Misalnya, harga minyak Indonesia (ICP) pada Oktober 2014 mencapai 83,72 dolar AS per barel atau turun 11 dolar AS lebih dari bulan sebelumnya. Sebulan sebelumnya, September 2014, harga minyak Indonesia mencapai 94,97 dolar AS per barel.
Penurunan harga juga dialami minyak Minas/ SLC yang pada Oktober 2014 turun menjadi 84,46 dolar AS per barel, dari sebelumnya seharga 95,66 dolar AS per barel. Artinya, terjadi penurunan harga minyak hingga 11,20 dolar AS per barel.
Padahal sejak era kepemimpinan Presiden SBY, harga minyak sealu dinaikan seiring dengan meningkatnya harga minyak dunia. Bahkan, harga minyak pun ikut diturunkan ketika harga minyak dunia turun. Presiden SBY tercatat pernah menaikan harga minyak sebanyak empat kali dan menurunkannya sebanyak tiga kali.
Tercatat Presiden SBY menaikkan harga BBM pada 1 Maret 2005, 1 Oktober 2005, 24 Mei 2008 dan 15 Januari 2009. Sedangkan Presiden SBY menurunkan harga minyak pada 1 Desember 2008, 15 Desember 2008 dan 15 Januari 2009.
Publik di Indonesia tentu masih ingat dengan kampanye khas Partai Demokrat pada 2009 lalu. Saat itu, Partai Demokrat mengkampanyekan penurunan harga Premium dari Rp 6.000 menjadi Rp 5.500, lalu turun menjadi Rp 5.000 dan turun lagi menjadi Rp 4.500. Sedangkan hafga Solar turun dari Rp 5.500 menjadi Rp 4.800 dan turun lagi menjadi Rp 4.500.
Kenaikan harga bbm di tengah kecenderungan menurunnya harga minyak dunia, termasuk harga bbm non-subsidi di Indonesia boleh jadi merupakan bagian dari program revolusi mental ala Jokowi-JK.