REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Politikus PDIP, Hendrawan Supratikno menyalahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) atas kenaikan harga BBM bersubsidi. Menurutnya kenaikan BBM bersubsidi yang dilakukan Presiden Joko Widodo (Jokowi) karena kegagalan SBY melakukan tata kelola minyak dan gas.
"SBY tidak mengerjakan PR-nya," kata Hendrawan saat dihubungi Republika, Senin (17/11).
Hendrawan mengatakan pemerintahan Jokowi berada dalam posisi dilematis. Menurutnya kalau saja SBY mengelola minyak dan gas dengan benar maka Jokowi bisa menunda kenaikan BBM bersubsidi. "Kalau saja SBY lakukan upaya efisiensi dan diversifikasi energi paling tidak pemerintah bisa menunda," ujarnya.
PDIP sebenarnya tidak menolak kenaikan harga BBM. Asalkan kenaikan dilakukan dengan terlebih dulu memenuhi tiga aspek prakondisi: pertama, efisiensi produksi dan distribusi tata niaga minyak dan gas, kedua diversifikasi dan konversi energi, ketiga menguatkan program perlindungan sosial ke masyarakat.
Persoalannya, tiga aspek tersebut tidak terlebih dulu dilaksanakan pemerintah. Hendrawan mengatakan pemerintah menaikan harga BBM bersubsidi bersamaan dengan upaya realisasi tiga aspek prakondisi yang diinginkan PDIP. "Ini ketiganya dikerjakan berbarengan dengan kenaikan (BBM bersubsidi)," ujarnya.
PDIP memperkirakan kenaikan BBM bersubsidi akan memberi dampak inflasi antara dua sampai tiga persen. Namun Hendrawan optimistis program "kartu sakti" Jokowi bisa membantu masyarakat mengurangi dampak kenaikan BBM bersubsidi.
Menurutnya meski tiga aspek prakondisi menaikan BBM bersubsidi diabaikan Jokowi, PDIP tetap mendukung kebijakan tersebut. "Kami akan kawal terus. Kami mendukung," katanya.
Sebelumnya pemerintahan Jokowi menaikan harga BBM bersubsidi premium dari Rp 6500/liter menjadi Rp 8500/liter. Sementara solar dari Rp 5000/liter menjadi Rp 7500/liter.