REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Kementerian Tenaga Kerja mengajak perusahaan-perusahaan untuk melakukan sosialisasi dan melakukan pembahasan sistem pengupahan di perusahaan.
Pembahasan tersebut harus dilakukan secara bipartit atau musyawarah dengan melibatkan unsur manajemen perusahaan, pemerintah dan unsur pekerja.
"Upah minimum hanya sebagai pengaman sosial (social safety net). Upah minimum hanya berlaku bagi pekerja lajang dengan masa kerja kurang dari satu tahun. Selain ketentuan itu, maka besarannya berdasarkan perundingan bipartit antara pekerja dan perusahaan," kata Menteri Tenaga Kerja Hanif Dakhiri, Senin (17/11).
Dia menjelaskan, untuk upah kepada pekerja yang sudah berkeluarga dan telah bekerja lebih dari satu tahun penetapan besaran upah harus ditekankan pada kesepakatan secara bipartit di tingkat perusahaan masing-masing.
"Pembahasan penetapan upah antara pengusaha dan pekerja dan buruh, dapat dilakukan dan diatur melalui perjanjian kerja bersama (PKB) danperaturan perusahaan (PP)," tambahnya.
Untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan pihaknya sedang mempersiapkan formula untuk menggeser wacana upah yang selama ini selalu mengundang polemik dan perdebatan menjadi sistem pengupahan yang berorientasi pada peningkatan kesejahteraan buruh.
"Kita ingin menggeser dari wacana upah ke sistem pegupahan. Kalau bicara sistem pengupahan orientasinya dasarnya adalah peningkatan kesejahteraan. Jadi, upah hanya merupakan salah satu komponen saja dari kesejahteraan para pekerja,” kata Hanif.
Hal-hal lain yang dapat mendukung peningkatan kesejahteraan buruh selain upah antara lain adanya penyediaan fasilitas transportasi murah bagi buruh, biaya rumah buruh yang murah, dan biaya pendidikan yang terjangkau.
Semua itu, ungkap Hanif, dilakukan supaya pemerintah tak ingin terus menerus terjebak pada wacana mengenai upah yang setiap tahun para pekerja melakukan unjuk rasa yang berdampak mengurangi produktifitas secara nasional.