REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Teknologi dari Universitas Budi Luhur (UBL), Mardi Hardjianto, mengatakan, kejahatan cyber crime di Indonesia dengan korban anak - anak mengalami peningkatan.
"Indonesia menempati posisi pertama terkait kejahatan seksual terhadap anak-anak di internet," kata Wakil Dekan Fakultas Teknologi Informasi (FTI) Bidang Riset dan Kerjasama dan Dosen Pascasarjana Magister Komputer UBL, Mardi Hardjianto di Jakarta, Senin (17/11).
Ia mengatakan, pada awalnya pengembangan internet sebagian besar dilakukan oleh para mahasiswa. Namun, seiring dengan perkembangannya, internet mempunyai banyak celah yang dapat ditembus.
Mardi menambahkan, cyber crime merupakan perbuatan yang melanggar hukum dengan memanfaatkan teknologi computer dan internet.
Hukum mengenai ITE diatur dalam Undang-Undang tahun 2008 pasal 27, 28, 29, 30 dan KUHP. UU tersebut berisi ancaman pidana yang dilakukan oleh pengguna internet secara negatif.
Dampak-dampak yang ditimbulkan oleh kejahatan di dunia maya antara lain pencemaran nama baik, penghilangan data, perusakan data, penghilangan materi, dan perusakan program.
"Oleh karena itu, pencegahan terhadap penggunaan internet secara negatif dapat dilakukan dengan menambah kewaspadaan dalam mengakses web tertentu," katanya.
Mardi juga menjelaskan mengenai perbedaan antara Hackers dan Crackers dalam melakukan kejahatan. Hacker mempunyai keinginan untuk mengetahui secara mendalam mengenai kerja suatu system, komputer atau jaringan.
Sedangkan Crackers adalah sebutan untuk mereka yang masuk ke sistem orang lain seperti mem-bypass password atau lisensi program komputer, merubah halaman muka web milik orang lain bahkan hingga menghapus data orang lain, mencuri data.
"Adapun upaya untuk menanganinya adalah dengan melindungi data dengan cermat, tidak membuka link yang diberikan oleh orang lain dan melindungi komputer dengan menggunakan lebih dari dua anti virus," katanya.