REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gempa pukul 10.31 (WITA) yang dirasakan di wilayah bagian utara Sulawesi dan Maluku dengan magnitudo 7,3 (BMKG) atau 7,1 USGS memiliki mekanisme sesar naik (thurst). Gempa ini terjadi pada zona subduksi ganda lempeng laut Maluku.
Menurut pakar gempa dari ITB Irwan Meilano, subduksi ganda tersebut terbentuk akibat tekanan dari lempeng laut Filipina di timur pada zona Halmahera dengan laju penunjamannya 6,7 cm per tahun. Sementara di sebelah barat lempeng Eurasia menekan ke timur dengan laju 1,7 cm per tahun pada zona Sangihe.
Akibat dari penunjaman ganda tersebut, jelas Irwan, menghasilkan kompresi arah barat timut di bagian tengah. "Ini mengakibatkan beberapa kejadian gempa dengan mekaniske fokusnya naik yang merupakan ciri kejadian gempa hasil dari tumbukan lempeng," kata Irwan kepada Republika Online (ROL), Sabtu (15/11).
Seismisitas di antara Sangihe dan Halmahera, lanjut Irwan, sangat dominan dan terjadi pada kedalaman yang kurang dari 50 km, dan gempa-gempa ini tergolong gempa dangkal. Irwan mengungkapkan, sejarah kegempaan yang pernah terjadi adalah gempa tsunami pada 1932 dengan magnitudo 8,3. Selain gempa tersebut, yaitu gempa pada 1858 dengan magnitudo 7,4 yang juga menghasilkan tsunami. Pada peta gempa terbaru wilayah tersebut memiliki percepatan sangat tinggi.