REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Segera setelah resmi dilantik menjadi presiden, Joko Widodo menghadirkan tiga kartu jaminan sosial, Kartu Indonesia Pintar (KIP), Kartu Indonesia Sehat (KIS), dan Kartu Keluarga Sejahtera (KKS). Namun kehadiran tiga kartu sakti ini menurut pengamat sekaligus Ketua Program Studi Kesejahteraan Masyarakat Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta Dr. Nafsiah Arifuzzaman dinilai terlalu tergesa-gesa.
Menurutnya belum lagi ada sosialisasi, pemerintah sudah langsung meluncurkannya. Sehingga masyarakat kurang mendapatkan informasi yang jelas. Hak
Nafsiah menambahkan kehadiran kartu sakti Jokowi juga dianggap membingungkan. Kurangnya informasi tersebut membuat masyarakat bertanya-tanya bagaimana mekanisme penggunaan ketiganya dan apa perbedaan dengan kartu-kartu pendahulunya.
Untuk KIS misalnya, Nafsiah mempertanyakan perbedaan layanan kesehatan dengan program BPJS Kesehatan. Apakah setiap orang pemegang kartu BPJS Kesehatan juga menerima KIS.
"Presiden meluncurkan tiga kartu, kalau meluncurkan atau launching itu dimaknai sebagai sesuatu yang baru, brand baru. Masyarakat bertanya apa lagi ini?" katanya dalam dialog DPD Pro Kontra Kartu Sakti dan Jaminan Sosial di Gedung Parlemen Senayan, Jakarta, Jumat (14/11).
Padahal menurutnya, dalam konteks pemenuhan kesejahteraan sosial, masyarakat seharusnya sudah menerima informasi soal hak, kewajiban, ruang lingkung, dan konsekuensi kepemilikan kartu. Dan terpenting masyarakat tidak hanya mengetahui informasi ini tapi juga teredukasi dengan adanya program kesehatan yang dibuat negara.
"Bukan hanya sosialisasi tapi edukasi. Setiap presiden baru ganti nama baru padahal framing-nya sebenarnya bagus," katanya.