REPUBLIKA.CO.ID,MATARAM--Tumpang tindih hutan adat dengan hutan negara menjadi sumber sengketa lahan yang pelik.
"Kalau pemerintah membiarkan hal ini, ia seperti membiarkan kebakaran di rumah sendiri,” ujar Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Sandrayati Moniaga, Kamis (13/11) malam.
Padahal, menurutnya, potensi berbagai konflik terkait sengketa lahan kian lama kian membesar.
Ia menuturkan, di Indonesia ada sekitar 137 juta hektare yang dinyatakan sebagai kawasan hutan. Kawasan tersebut ditetapkan berdasarkan perencanaan yang, menurutnya, serampangan pada masa Orde Baru.
Sementara ada sebanyak 31 ribu desa dalam kawasan hutan tersebut. Setidaknya 30 persen dari desa-desa tersebut merupakan wilayah adat, baik yang diakui pemerintah maupun masih diperjuangkan.
Dengan sebaran tersebut, menurut Sandra, terbuka kemungkinan kian banyaknya klaim masyarakat adat atas wilayah mereka yang telah ditetapkan sebagai kawasan hutan. Sejauh ini, tak semua berani angkat suara dan tak disuarakan.
Komnas HAM, kata Moniaga, juga telah menerima ratusan aduan dari masyarakat adat soal klaim atas tanah mereka yang jadi hutan negara atau lahan perusahaan-perusahaan. Sebanyak 41 di antaranya, diperdengarkan dalam inkuiri nasional di tujuh regional.
Pakar hukum dan HAM Enny Suprapto yang jadi penengah dalam dengar keterangan inkuiri nasional mengatakan, soal masif atau tidaknya sengketa tanah adat masih perlu penelitian lebih lanjut.
"Tapi dapat dikatakan secara afirmatif bahwa ada pola," kata Enny.
Belakangan, dengan pengakuan pemerintah atas masyarakat adat melalui UU tenntang HAM dan putusan MK Nomor 35 Tahun 2013 yang meregulasi agar tanah ulayat diakui, gugatan bermunculan. Dalam beberapa kasus, gugatan-gugatan itu ditindaki pemerintah dan perusahaan dengan kekerasan.
Untuk mempercepat penyelesaian aneka sengketa itu, menurut Enny diperlukan sinkronisasi regulasi. Selain itu, pemerintah juga perlu membuat peraturan yang lebih baku soal kriteria masyarakat adat.