Kamis 13 Nov 2014 19:44 WIB

Ingin Hapus HMP, KIH Dinilai tak Baca Konstitusi

Rep: C87/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Pramono Anung
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Pramono Anung

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Usulan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) tentang penghapusan Hak Menyatakan Pendapat (HMP) dinilai menunjukkan DPR tidak membaca konstitusi. HMP diatur dalam Pasal 20A ayat 2 UUD 1945.

"Jadi usul penghapusan HMP dalam revisi UU MD3 yang direncanakan jelas bertentangan dengan konstitusi," kata Peneliti pada divisi Kajian Hukum Tatanegara SIGMA, M Imam Nasef, dalam pernyataan tertulis kepada media, Kamis (13/11).

Menurutnya, penguatan sistem presidensial tidak tepat melalui pengamputasian fungsi kontrol DPR. HMP menjadi salah satu manifestasi fungsi kontrol DPR terhadap Pemerintah dalam pelaksanaan prinsip check and balance. Sehingga kewenangan konstitusional DPR tidak bisa dihapus dengan dalih penguatan sistem presidensial.

"Desain konstitusi kita sebenarnya sudah cukup kuat untuk menopang sistem presidensial, UUD 1945 tidak memberi ruang terjadinya pemakzulan Presiden kecuali didasarkan pada alasan-alasan hukum,"

jelasnya.

Dia menjelaskan, dalam Pasal 7A UUD 1945 menyatakan secara tegas bahwa hanya pelanggaran-pelanggaran hukum yang dapat dijadikan alasan pemakzulan. Hal itu juga menjadi alasan Mahkamah Konstitusi (MK) dilibatkan dalam proses pemakzulan, untuk memastikan usul pemakzulan benar-benar hanya didasarkan pada alasan-alasan hukum.

"Jadi, jangan dikira lemahnya dukungan politik terhadap Presiden di Parlemen linier dengan mudahnya memakzulkan Presiden. Proses pemakzulan itu merupakan proses konstitusional yang sangat ketat,"

imbuhnya.

Bahkan menurutnya syarat memakzulkan Presiden lebih berat daripada syarat mengamendemen UUD 1945. Untuk memakzulkan Presiden, konstitusi mensyaratkan kehadiran minimal tiga per empat jumlah anggota MPR, sedangkan untuk mengamendemen UUD 1945, konstitusi hanya mensyaratkan kehadiran minimal dua per tiga dari jumlah anggota MPR. Sehingga tidak mudah untuk memakzulkan Presiden dengan desain konstitusi yang dimiliki Indonesia.

Dia mengimbau tidak perlu ada kekhawatiran yang berlebih soal potensi terjadinya pemakzulan Presiden. Sebab, dalam sistem presidensial jabatan Presiden itu sejatinya bersifat tetap untuk jangka waktu tertentu (fixed term). "Di Indonesia, jabatan Presiden bersifat tetap untuk jangka waktu 5 tahun, dan hanya bisa dimakzulkan karena alasan-alasan hukum," pungkasnya.

Sebelumnya, politisi PDIP Pramono Anung mengatakan pengajuan revisi UU MD3 tidak hanya berkaitan dengan komposisi alat kelengkapan dewan.Melainkan terkait hak menyatakan pendapat. Menurut Pramono ada beberapa pasal di UU MD3 yang dianggap membahayakan sistem presidensial.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement