REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dilanda konflik internal berkepanjangan. Dua kubu di tubuh partai Ka’bah saling berseteru. Satu kubu digawangi Suryadharma Ali (SDA), dan satunya di bawah komando Romahurmuziy (Romy). Padahal, keduanya merupakan ketua umum dan sekretaris jenderal partai hasil Muktamar VII 2011 silam. Pemimpin yang dilahirkan dari forum tertinggi partai.
Sayangnya mereka tak rukun sampai ujung kepengurusan. Menjelang pemilihan legislatif, muncul riak-riak perpecahan. Pemicunya, SDA hadir dalam kampanye Partai Gerindra pada 23 Maret 2014. Sikap itu dinilai melanggar aturan partai. Sebab, saat itu belum ada keputusan resmi partai yang menyatakan dukungan terhadap calon presiden dari manapun. Meski kemudian dibantah oleh SDA.
Manuver politik SDA ini kemudian mendapat perlawanan dari Romy dkk. Romy menggelar rapat pimpinan nasional (Rapimnas) dan mengagendakan musyawarah kerja nasional (Mukernas) untuk mengevaluasi kepemimpinan SDA. Aksi ‘pecat-pecatan’ pun terjadi. Beruntung, konflik itu bisa ditengahi Ketua Majelis Syari’ah PPP KH Maimoen Zubair (Mbah Moen). Romy dan SDA islah.
Perbedaan kembali terjadi di antara keduanya. Mereka saling klaim sebagai yang paling benar. Konflik pun semakin runyam. Perseteruan akhirnya menemui momentumnya. Kedua kubu menggelar muktamar sesuai tafsir masing-masing. Romy dkk menggelar muktamar di Surabaya yang kemudian menjadikannya sebagai ketua umum. Sementara SDA menggelar muktamar di Jakarta yang diklaim telah sesuai aturan yang direstui majelis syari’ah dan Mahkamah Partai. Djan Faridz terpilih sebagai ketua dalam muktamar di Hotel Sahid, Jakarta itu.
Di sisi lain, konflik internal partai ini semakin meruncing dengan terbitnya Surat Keputusan (SK) Menteri Hukum dan HAM RI. Surat dengan Nomor M.HH 07.AH.11.01 Tahun 2014 tanggal 28 Oktober 2014 itu mengesahkan perubahan susunan kepengurusan DPP PPP sesuai hasil muktamar Surabaya yang berlangsung 15-17 Oktober 2014.
SDA pun mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) atas SK Menkumham melalui kuasa hukumnya. Tanggal 6 November, PTUN kemudian mengabulkan gugatan provisi SDA dengan Nomor 217/G/2014/PTUN - JKT. Babak baru konflik PPP pun dimulai.
Dalam penetapan tersebut, butir 2 menyatakan, memerintahkan kepada tergugat (Menkumham) untuk menunda pelaksanaan SK Menkumham RI Nomor : M.HH 07.AH.11.01 Th 2014, tanggal 28 Oktober 2014 tentang Pengesahan Perubahan Susunan Kepengurusan DPP PPP selama proses pemeriksaan perkara berlangsung sampai dengan putusan dalam perkara ini memperoleh kekuatan hukum tetap.
Sementara di butir 3 disebutkan, memerintahkan kepada tergugat untuk tidak melakukan tindakan-tindakan Pejabat Tata Usaha Negara lainnya yang berhubungan dengan keputusan Tata Usaha Negara (obyek sengketa), termasuk dalam hal ini penerbitan Surat-Surat Keputusan Tata Usaha Negara yang baru mengenai hal yang sama, sampai dengan adanya islah di antara para elite PPP yang bersengketa.
Tafsir dari kedua kubu –pasti– kembali berbeda. Romy mengatakan, SK Menkumham tetap berlaku dan memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Sementara, Ahmad Dimyati Natakusumah, yang ditunjuk Djan Faridz sebagai sekjen versi muktamar Jakarta mengatakan, adanya penetapan PTUN itu berarti kembali ke pengurus awal.