REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) bersama Organisasi Pendidikan, Sains dan Budaya PBB (UNESCO) menyelenggarakan konferensi internasional untuk mengkaji penerapan ekohidrologi sebagai pendekatan baru untuk mengatasi krisis air global.
Agenda itu berlangsung dalam "International Conference on Ecohidrology (ICE) 2014 di Yogyakarta, Senin (10/11), yang dihadiri beberapa perwakilan negara-negara anggota Pusat Ekohidrologi Asia Pasifik (APCE) UNESCO seperti Korea, Jepang dan Australia.
Kepala LIPI Iskandar Zulkarnain menjelaskan, ekohidrologi merupakan pendekatan alternatif untuk mengatasi krisis air bersih saat ini dengan memanfaatkan unsur ekosistem di sekitarnya. "Persoalan air bersih memang bisa saja diselesaikan dengan teknologi, tapi jika kita atasi dengan memanfaatkan unsur ekosistemnya sendiri, akan lebih murah," kata Iskandar.
Ia mencontohkan, penerapan teknik ekohidrologi pernah dilakukan untuk menetralisir air di Waduk Saguling, Kabupaten Bandung, Jawa Barat yang tercemar limbah. Penerapan ekohidrologi dilakukan dengan memanfaatkan tanaman seperti rumput atau enceng gondok sebagai tanaman penyerap polutan yang ditanam di sepanjang aliran waduk. "Hasilnya tingkat kebersihan air meningkat, dan biaya pembersihan lebih murah," kata dia.
Menurut Iskandar, mengacu kondisi saat ini, sebagian besar penduduk masih belum mengkonsumsi air bersih. Walaupun ketersediaan air di Indonesia melimpah, namun secara kualitas tidak semuanya memenuhi kriteria air bersih, sehat dan layak konsumsi.
Oleh sebab itu, menurut dia, melalui forum konferensi internasional tersebut, penerapan ekohidrologi diharapkan lebih dapat dikembangkan lagi bersama negara-negara anggota PBB lainnya. "Paling tidak dapat membagi pengalaman, hasil riset penerapan ekohidrologi yang dilakukan negara-negara lainnya," kata dia.