REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Politik Internasional dari Universitas Andalas Ranny Emilia mengingatkan agar kerja sama antara Indonesia dan Cina sama-sama menguntungkan. Jangan sampai Cina mengambil keuntungan lebih besar dari kerja sama tersebut.
"Mungkin sekali Cina akan lebih bisa mengambil keuntungan secara geopolitik dan geostrategis ketimbang Indonesia," kata Ranny saat dihubungi Republika, Ahad (9/11) malam.
Menurut pengajar di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional tersebut, kemungkinan lebih untungnya Cina tersebut akan dimanfaatkan untuk mengimbangi pengaruh Amerika Serikat di Asia Pasifik. Yakni, dengan membentuk kerja sama maritim hingga mengubah peta kekuatan dunia.
Ranny mengkhawatirkan, diplomat Indonesia, termasuk Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak cukup kuat untuk mengimbangi kekuatan Cina. Terutama dari segi kemampuan-kemampuan membujuk dan tawar menawar keamanan.
Apalagi, Cina menjadikan ekspor teknologi nuklir sebagai andalan untuk mengalirkan uang ke dalam negaranya. Negara-negara yang menjadi importir teknologi nuklir Cina, umumnya adalah yang berada dalam kawasan konflik, misalnya Pakistan, Iran dan Korea Utara.
"Jangan sampai Cina berhasil membujuk Indonesia untuk menjadikan nuklir sebagai materi untuk penanggulangan masalah energi, termasuk untuk meningkatkan keamanan militer," kata Ranny.
Menurut Ranny, teknologi nuklir untuk memasok energi secara ekonomi boleh jadi lebih murah. Tetapi, namun resiko keamanannya sungguh sangat besar.
Seperti diketahui, presiden Jokowi pada akhir pekan kemarin mengunjungi Cina untuk menghadiri KTT APEC 2014. Kunjungan ini merupakan yang pertama bagi Jokowi sebagai kepala negara. Jokowi sendiri sejak dinyatakan sebagai pemenang pilpres intensif menjalin hubungan dengan Cina.