REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pencetus ide Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Dr Emir Soendoro menilai pelaksanaan jaminan sosial di Indonesia sudah tidak karuan dan melenceng dari rencana awalnya.
"Ide awalnya BPJS itu hanya satu dan kepalanya merupakan pejabat setingkat menteri. Namun, sekarang ada dua BPJS, masih ada berbagai kartu jaminan sosial lagi yang dibagikan pemerintah," kata Emir Soendoro kepada Antara di Jakarta, Jumat.
Emir mengatakan ide awal jaminan sosial adalah penyatuan antara Jamsostek, Askes, Jasa Raharja, Taspen dan Asabri. Uang yang diiurkan peserta juga tidak akan hilang karena akan diberikan ketika peserta mencapai usia tertentu.
Menurut Emir, perubahan Askes menjadi BPJS Kesehatan dan Jamsostek menjadi BPJS Ketenagakerjaan juga seharusnya tidak mengubah hak-hak peserta yang sudah terdaftar sebelum transformasi menjadi BPJS.
"Kalau diubah semua seperti ini, orang-orang yang dulu menjadi peserta Askes dan Jamsostek bisa kecewa karena merasa ada penurunan layanan," tuturnya.
Emir mengatakan dia memiliki ide mengenai jaminan sosial berdasarkan pengalaman empirisnya saat menjadi dokter dan sempat berdinas di TNI Angkatan Laut setelah menempuh pendidikan di Sekolah Perwira Wajib Militer (Sepawamil) pada periode 1980-an.
Saat itu, dia yang bertugas di Rumah Sakil Angkatan Laut melihat tentara tidak perlu khawatir dengan diri dan keluarganya karena sudah ada jaminan kesehatan dari Asabri.
Semua tentara dan keluarganya, mulai dari tamtama hingga perwira, tidak perlu berpikir biaya kesehatan sama sekali.
"Jadi, mereka bisa bekerja optimal untuk negara. Tidak perlu lagi berpikir, nanti kalau saya dan keluarga sakit bagaimana. Semua sudah ada yang menanggung," katanya.
Namun, di sisi lain, istrinya yang bekerja di sebuah puskesmas menceritakan masih banyak orang, khususnya petani, yang kesulitan biaya saat sakit dan harus berobat.
"Karena itu, saya berpikir harus ada jaminan sosial yang bisa melindungi seluruh warga negara," ujarnya.