REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kebijakan kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM) yang dilontarkan Wapres Jusuf Kalla akan direalisasikan bulan November ini menjadi kabar yang cukup meresahkan khususnya bagi kalangan menengah kebawah.
Kenaikan BBM bukan terjadi kali ini saja, namun kebijakan ini tidak pernah luput dari protes dan penolakan dari berbagai kalangan.
Berbagai protes yang muncul tersebut bukan tanpa alasan. Pasalnya ada berbagai dampak yang timbul mengikuti kenaikan tarif BBM bersubsidi. Salah satunya berdampak pada bidang kesehatan. Secara langsung dampak ini memang memiliki hubungan yang jauh dari penyebabnya. Namun, apabila dirunut penyebab dan dampak ini sangat dekat sekali kaitannya.
Jika menilik ke belakang, era kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pernah mencatatkan efek samping akibat kebijakannya menaikkan BBM. Pada 2005, beberapa daerah banyak dilanda gizi buruk seperti Bandung dan Yogyakarta.
Pada Desember 2005, Gubernur DI Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X menyatakan prihatin dengan munculnya kasus balita penderita gizi buruk di wilayahnya. "Sejak harga BBM naik, memang daya beli masyarakat menjadi turun".
Begitu pula di Bandung, Gubernur Jabar, Danny Setiawan, menyatakan bahwa gizi buruk disebabkan oleh daya beli masyarakat. Karena BBM naik, maka daya beli masyarakat menurun, sehingga angka gizi buruk meningkat.
Pada dasarnya masalah gizi buruk terkait dengan kesejahteraan keluarga. Kenaikan tarif BBM sudah bisa dipastikan akan diikuti oleh kenaikan barang-barang pokok lainnya namun tidak dibarengi dengan peningkatan pendapatan. Secara otomatis hal ini berimbas pada kesejahteraan masyarakat.
Di Surabaya, Bibit (40 tahun), seorang janda beranak tiga tidak bisa hidup secara layak. Profesinya sebagai penjual pakaian bekas tidak bisa menutupi kebutuhan
pokok sehari-hari pasca kenaikan BBM pada 2005.
"Makan nasi dan lauk basi sudah bukan barang baru bagi kami. Tetapi, mau bagaimana lagi. Kami ini orang kecil, nggak ngerti apa-apa. Bisanya cuma jualan seadanya ini," ujar dia.
Hal serupa juga dialami Suparno (45 tahun), seorang warga di RT 08/03, Desa Totoran. Dampak kenaikan harga sembilan bahan pokok hidup imbas dari kenaikan BBM semakin mencekik kondisi ekonominya. Akibatnya, keluarga miskin ini harus memakan nasi kering yang dimasak ulang.