REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dosen ilmu Komunikasi Unika Soegijapranata, Algooth Putranto, mengkritik kebijakan dari presiden Joko Widodo. Kebijakan itu terkait catatan khusus perihal saran kepada para menteri untuk mengganti nomor telpon genggam akibat beredarnya nomor para menteri di media sosial.
Menurut dia, hal ini juga bertentangan dengan semangat partisipasi publik yang selama ini dibangun. ''Seharusnya semangat kedekatan dalam partisipasi publik yang sudah dibangun saat menjadi Gubernur DKI bisa dipertahankan. Bahwa menteri kemudian memiliki nomor kerja yang bersifat privat dan aman itu sah saja. Tetapi tidak dengan mengeluarkan arahan mengganti nomor telpon,'' ujarnya dalam keterangan tertulis yang diterima Republika di Jakarta, Selasa (4/11).
Algoth juga menyoroti adanya dokumen yang beredar luas tentang arahan untuk melakukan monitoring media. Menurut dia, sikap Jokowi yang dituangkan melalui Menteri Sekretaris Kabinet kepada Kabinet Kerja 2014-2019 itu sangat kontraproduktif dengan semangat demokrasi yang telah dibangun selama ini.
''Jika dokumen itu benar, saya cukup khawatir dengan IMM (Intellegence Media Monitoring) yang dimaksudkan untuk mengetahui siapa dalam kebijakan yang dibuat oleh Presiden mendukung atau tidak mendukung. Ini kontraproduktif dengan semangat demokrasi,'' ujarnya.
Dia menyatakan perbedaan pendapat merupakan modal dalam demokrasi sehingga upaya istana untuk membangun sistem yang dimaksudkan untuk melakukan pengawasan dalam kerangka intelijen menimbulkan tanda tanya. ''Ini sangat kita sesalkan,'' kata dia.
Meski demikian, Algooth mendukung arahan Presiden agar semua pejabat harus menggunakan alamat surat elektronik go.id dan melarang penggunaan surat elektronik gratisan seperti yahoo, gmail dan sebagainya. "Wajar kalau pejabat publik diwajibkan Presiden menggunakan alamat go.id. Demi keamanan dan tertib administrasi pemerintahan."