Selasa 04 Nov 2014 20:05 WIB

Mantan Karyawan Merpati Siap Jadi 'Pegawai Titipan'

Rep: C85/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Demo buruh Merpati (ilustrasi)
Foto: Republika/Prayogi
Demo buruh Merpati (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua aksi damai mantan karyawan Merpati, Purwanto meminta Menteri BUMN Rini M Soemarmo menitipkan para pegawai Merpati kepada BUMN lain dalam rangka sinergi. Terkait status pegawai, Purwanto menjelaskan bahwa mereka nanti bisa dibilang 'pegawai titipan'.

"Ini kalau pemerintah benar beritikad baik kepada kami," lanjutnya. Prosesnya, menurut Purwanto, cukup melalui keputusan pemegang saham, dalam hal ini adalah Rini Soemarno selaku Menteri BUMN.

Gaji yang dibayarkan nantinya, bila mereka bisa dititipkan ke BUMN lain, akan bersifat B to B (bussiness to bussiness). Dimana sifatnya adalah dana pinjaman dari BUMN terkait.

"Kami tahu secara UU, mengacu Peraturan no. 8 tahun 81 bahwa denda keterlambatan gaji itu bisa 50 persen," jelas Purwanto. Sehingga menurutnya, daripada semakin larut maka solusi penitipan karyawan Merpati ke BUMN segera dilakukan.

"Kalau Anda berkunjung ke rumah pegawai Merpati, kebanyakan sudah mimim perabot. Kami jual," kata Purwanto menceritakan keadaan mereka saat ini.

Kondisi saat ini, tutur Purwanto, kasus terburuk adalah ada dari pegawai Merpati yang terusir dari kontrakan. "Bahkan bayar listrik saja sudah tidak mampu," jelasnya.

Menurut Purwanto, total ada 22 miliar rupiah yang seharusnya dibayarkan oleh Merpati setiap bulannya. "Itu untuk 1400 orang," jelas Purwanto.Rencananya, para pegawai Merpati yang tergabung dalam Serikat Karyawan Merpati akan menunggu berdialog dengan salah satu deputi BUMN yang ada.

Pengamat penerbangan, Alvin Lie mengungkapkan bahwa memang seharusnya pemerintah memikirkan hak-hak normatif para pegawai terlebih dahulu sebelum ke tahap memutuskan tentang penyehatan Merpati."Penuhi hak normatif mereka dulu, baru berpikir bagaimana nasib Merpati," ujar Alvin saat dihubungi Republika.

Seperti diketahui, sejak 1 Februari 2014 Merpati terpaksa menghentikan operasional karena dililit berbagai masalah yang membelit perusahaan itu, mulai defisit kas perusahaan, utang yang membengkak hingga sekitar Rp 6,7 triliun, tunggakan asuransi, hingga tunggakan biaya gaji karyawan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement