REPUBLIKA.CO.ID, PANGANDARAN -- Meski sudah memiliki bisnis penerbangan yang cukup mapan, Susi Pudjiastuti mengaku, masih ada ada satu cita-cita yang belum terwujud. Yakni, meng-connect-kan seluruh wilayah di Tanah Air dalam satu pola penerbangan pesawat.
Bila cita-citanya ini, terwujud maka tidak ada lagi daerah-daerah terpencil di Tanah Air yang tidak terjangkau dengan moda transportasi udara.
Dia menilai, untuk NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) yang masih masuk kategori negara berkembang dengan wilayah demikian luas, maka moda transportasi udara dengan pesawat kecil sebenarnya paling relevan diterapkan. ''Dengan pesawat kecil, infrastruktur yang dibutuhkan untuk menerbangkan dan mendaratkan pesawat, tidak menguras anggaran terlalu banyak,'' katanya.
Menurutnya, dengan landas pacu sepanjang 800 meter saja, pesawat kecil sejenis Grand Caravan dengan kapasitas penumpang 12 orang, sebenarnya sudah bisa terbang dan mendarat. Bahkan landas pacu itu pun tidak perlu harus selalu diaspal atau dibeton. Asalkan tanah landasannya
sudah dipadatkan, maka pesawat kecil sudah bisa take off atau landing dengan aman.
Seperti di Pangandaran, Susi memiliki landasan sendiri untuk pendaratan pesawatnya. Landasan yang hanya berupa tanah itu, disewa dari tanah desa yang terletak di pinggir pantai. ''Biaya
pembangunannya murah, tak sampai Rp 1 miliar,'' tambahnya. Dengan landasan di Pangandaran tersebut, Susi bisa pulang pergi ke mana pun dari Pangandaran dengan pesawat.
Susi sendiri mengaku, bagi kalangan operator pesawat, usaha membuka jalur penerbangan perintis bukannya hal mudah. Seringkali operator pesawat harus memiliki kesiapan mental dan modal untuk membuka penerbangan perintis.
Seperti saat membuka jalur penerbangan Bandara Tunggul Wulung Cilacap-Halim Perdana Kusuma, Susi mengaku harus mengeluarkan modal cukup besar. ''Pokoknya sampai berdarah-darah,'' jelasnya.
Dia menyebutkan, ketika masa awal membuka jalur penerbangan itu, dia harus terus menerus menerbangan pesawatnya dengan seringkali hanya 1 hingga 4 penumpang. Hal ini berlangsung cukup lama, sehingga beban kerugian yang ditanggung cukup besar. ''Dengan 4 penumpang yang membeli tiket seharga Rp 500.000, bagaimana mungkin kita bisa menutupi biaya operasional. Jangankan untuk membayar pilot, untuk memenuhi kebutuhan BBM saja tidak cukup,'' katanya.
Namun rute itu dia layani dengan konsisten. Menginjak tahun kedua pengoperasian rute Cilacap-Jakarta tersebut, Susi Air mulai bisa menarik keuntungan. Kini tingkat okupansi penumpang pesawat pada rute tersebut, rata-rata sudah mencapai 80 persen. Berdasarkan pertimbangan itu pula, frekwensi penerbangan Cilacap-Jakarta yang semula 2 kali
sehari, telah ditingkatkan menjadi 3 kali sehari.
Dalam pandangan Susi, membuka bisnis penerbangan dengan cara menjual tiket penumpang, sebenarnya tidak menjanjikan keuntungan besar. Bahkan pada masa awal, seringkali harus menelan kerugian.
Untuk itu, Susi mengaku tidak bisa melepaskan bisnis cargo atau carter pesawat. ''Dari bisnis carter dan kargo pesawat ini, saya bisa mensubsidi kerugian yang dialami dalam penerbangan penumpang melalui sistem ticketing,'' katanya.
(selesai)