Kamis 23 Oct 2014 21:16 WIB

Pakar IPB: Hati-hati Dengan Jebakan Diskon

Dr. Megawati Simanjuntak, S.P. M.Si.
Dr. Megawati Simanjuntak, S.P. M.Si.

REPUBLIKA.CO.ID,BOGOR--Berbagai upaya dilakukan para produsen produk dalam maupun luar negeri untuk meningkatkan jumlah pelanggannya. Salah satunya melalui program diskon.

Namun, masih banyak masyarakat yang belum memahami konsep diskon. Mayoritas menganggap, jika sebuah barang telah diberi potongan harga, maka akan lebih murah. Padahal, seringkali pemasar telah menaikkan terlebih dahulu harganya, lalu memberikan diskon.

Hal tersebut disampaikan, staf pengajar Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen, Fakultas Ekologi Manusia IPB, Dr. Megawati Simanjuntak, S.P. M.Si.

Mega, sapaan akrabnya, menjelaskan,ketidakmampuan konsumen dalam membedakan harga makanan kemasan yang paling murah antara yang telah didiskon dan yang tidak didiskon mengindikasikan masih banyak konsumen yang terkecoh.

“Dalam riset yang kami lakukan, konsumen membeli susu dengan ukuran dan merk yang sama. Susu tersebut dijual di toko A dan B,” ungkapnya.Ia mencontohkan, susu di toko A dijual dengan harga Rp 23.000 dengan diskon 10 persen, sedangkan di toko B dijual dengan harga Rp 20.000.

Sebanyak 30 persen, katanya, konsumen memilih harga susu yang 10 persen lebih murah dibandingkan susu yang tidak didiskon. Sementara 11,6 persen konsumen menyatakan tidak mengetahui susu mana yang harganya lebih murah.

Mega mengingatkan kepada konsumen untuk membaca label setiap produk. Menurutnya, hal itu perlu dilakukan sebab label merupakan informasi penting menyangkut nama produk, bahan yang terkandung, isi, daya tahan, kegunaan produk, keterangan halal, hingga tanggal kadaluwarsa.

Pada dialog yang dilaksanakan di Studio 1 RRI Bogor dan dipandu oleh Bang Jak itu, Mega menambahkan, hanya 37,9 persen konsumen yang sering membaca label makanan ketika membeli suatu produk pangan, selebihnya tak memperhatikan label.

Lebih lanjut ia mengatakan, beberapa alasan yang menyebabkan konsumen tidak terbiasa membaca label makanan kemasan, antara lain karena loyalitas merk dagang, keterbatasan waktu, hingga persepsi konsumen bahwa produk yang dipilihnya sehat. Ia pun menegaskan, beberapa kasus yang merugikan konsumen adalah makanan kemasan yang dibeli seolah-olah terisi penuh, padahal kenyataanya tidak penuh.

Bahkan, sambungnya, produk impor yang tidak mencantumkan komposisi dan uji laboratorium sehingga memicu kecurigaan terhadap bahan berbahaya yang tidak layak dikonsumsi. “Kasus susu yang tercemar bakteri Clostridium botulinum merupakan contoh yang merugikan konsumen,” tandasnya.

Berdasarkan hasil penelitian, katanya, hanya 21,2 persen yang menyampaikan keluhan ketika merasa kurang puas dengan produk yang dibelinya. “Padahal, perlu diketahui bahwa salah satu hak konsumen yang tercantum dalam Undang-Undang nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) adalah mendapat ganti rugi apabila barang yang diterima tidak sesuai dengan harga yang dibelinya,” pungkasnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement