REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --Jokowi konsisten menginginkan menteri di kabinetnya terlepas dari jabatan di parpol. Hal ini dinilai Kepala Pusat Studi Komunikasi dan Bisnis dari Universitas Mercu Buana, Dr Heri Budianto, akan mempengaruhi koalisi yang dibangun.
Dia menilai sikap pak Jokowi ini merupakan sebuah komitmen yang patut diapresiasi dan didukung. Meskipun demikian, ada perkembangan dinamika politik yang juga penting untuk dipertimbangkan oleh presiden terpilih.
Beberapa pekan terakhir terlihat dinamika yang cukup keras di parlemen. Jokowi diimbaunya harus betul - betul mengakomodasi parpol terutama mereka yang sejak awal mengusungnya.
"Parpol2 inilah yang akan bertarung habis-habisan di parlemen selama 5 tahun ke depan untuk mendukung program2 Jokowi JK, sehingga soliditas dengan mereka penting untuk dijaga," imbuhnya, di Jakarta, Jumat (17/10)
Meski semangat pemisahan jabatan menteri dengan parpolnya itu baik agar tidak ada rangkap jabatan, namun realitas politik yang ada tidak bisa dikesampingkan.
Setiap partai politik memiliki tokoh perekat internal. Di Hanura ada Wiranto. Di PDIP ada Mega. Di PKB ada Cak Imin. Di Nasdem dan PKPI ada Surya Paloh dan Sutiyoso.
Orang-orang inilah yang menjadi kunci soliditas partai. Jika orang-orang ini dicabut dari posisi di partainya, maka partai akan goyah dan rentan konflik. Partai yang goyah tidak bakal efektif bertarung mendukung Jokowi - JK di parlemen selama lima tahun ke depan. "Padahal posisi KIH sudah minoritas di situ dan pertarungan pun akan keras. Suka atau tidak suka, ini fakta," imbuhnya.
Terlepas dari berbagai keraguan, lanjut dosen Pasca Sarjana Komunikasi Universitas Mercu Buana ini, menteri-menteri dari kalangan parpol memiliki nilai lebih, yaitu akan jauh lebih bisa diterima oleh sesama kolega politisinya di parlemen, meski berbeda kubu.
Komunikasi personal antara menteri dengan komisi sebagai mitra kerja pun bisa lebih lancar karena sebelumnya pernah bekerja sama dengan individu2nya, sehingga tidak menguras energi.
Sementara dengan menteri-menteri dari kalangan profesional, karena belum mengenal dan berasal dari background yang berbeda, tentu ada jarak dan butuh waktu untuk saling menemukan pola komunikasi politik yang pas.