Rabu 15 Oct 2014 13:10 WIB

Jokowi Diminta Benahi 'Darurat' Pangan Warisan SBY

  Presiden terpilih Joko Widodo bersama pendiri Facebook, Mark Zuckerberg (kiri) saat berkunjung ke Pasar Tanah Abang, Jakarta, Senin (13/10).  (AP/Achmad Ibrahim)
Presiden terpilih Joko Widodo bersama pendiri Facebook, Mark Zuckerberg (kiri) saat berkunjung ke Pasar Tanah Abang, Jakarta, Senin (13/10). (AP/Achmad Ibrahim)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK)  diminta membenahi kondisi pangan yang dinilai berada di titik "darurat" selama era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

"Jokowi-JK nanti harus bisa membuktikan apa yang mereka kampanyekan untuk mewujudkan kedaulatan pangan dengan fokus pada kesejahteraan keluarga produsen pangan skala kecil," kata Koordinator Aliansi untuk Desa Sejahtera Tejo Wahyu Jatmiko di Jakarta, Rabu (15/10).

Menurutnya, fokus kesejahteraan keluarga produsen pangan kecil seperti petani dan nelayan sejalan dengan tema yang diusung badan pangan PBB FAO. Dalam rangka Hari Pangan Sedunia pada 16 Oktober, FAO menitikberatkan pada pertanian keluarga.

"Kenapa petani dan nelayan? Karena jumlah mereka yang banyak sehingga bisa menyumbang hingga 50 persen total pangan dunia," katanya.

Menurut Tejo, pangan Indonesia selama 10 tahun terakhir atau sepanjang pemerintahan SBY mengalami kondisi "darurat". Indikatornya, menurunnya jumlah petani, lahan pertanian serta tingginya impor pangan.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), sepanjang 2003-2013, jumlah petani dan nelayan terus menurun dari 31 juta jiwa menjadi 26 juta jiwa.

"Sementara lahan pertanian terus menyusut sekitar 100 ribu-110 ribu hektare per tahun. Padahal kapasitas pencetakan sawah hanya 20 ribu hektare per tahun. Defisitnya masih sangat besar," ujarnya.

Buruknya realisasi hasil pertanian yang masuk dalam sasaran pencapaian produktivitas pangan utama seperti padi, jagung, kedelai, gula dan daging juga membuat kondisi pangan dalam negeri terus terpuruk.

Ditambah lagi impor pangan terus meningkat sejak 10 tahun terakhir dari sekitar tiga miliar dolar AS per tahun menjadi 14 miliar dolar AS per tahun.

"Impor pangan ini membuat petani dan nelayan jadi malas karena harga jual mereka tertekan," ujarnya.

Karenanya, Tejo berharap pemerintah baru yang dipimpin Jokowi-JK nantinya bisa memperbaiki kondisi pangan saat ini sesuai janji kampanyenya.

"Tinggal bagaimana Jokowi nanti bersikap tegas untuk mewujudkan kedaulatan pangan karena ia punya modal dukungan penuh rakyat sekaligus perundang-undangan yang bisa melindungi petani dan lahan," katanya.

sumber : antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement