REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Efek gas rumah kaca disebut sebagai salah satu penyebab utama cuaca panas ekstrim yang melanda wilayah Jakarta dalam beberapa waktu terakhir.
Kementerian Lingkungan Hidup berpendapat efek dari cuaca panas ekstrim kini tidak hanya dirasakan di daratan. Bahkan, di ketinggian atau di atas lapisan atmosfir sengatan panas kini semakin terasa.
"Biasanya sengatan panas saat saya berada di atas pesawat atau ketinggian sekitar 33 ribu kaki tidak begitu terasa. Tapi sekarang, panas di ketinggian ini benar-benar menyengat," ujar asisten deputi bidang pengaduan dan pelaksanaan sanksi adminstrasi Kementerian Lingkungan Hidup, Widodo Sambodo, Ahad (12/10).
Ia menjelaskan sengatan panas yang telah mencapai ketinggian itu menandakan gas rumah kaca telah menembus atmosfir. Dengan demikian, suhu panas di daratan dipastikan akan semakin meningkat sebagai konsekuensi hal tersebut.
Suhu udara di Jakarta selama musim panas ini tercatat mengalami kenaikan yang cukup signifikan. Badan Metereologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengkonfirmasi, suhu di wilayah Ibu Kota mencapai 40 derajat celcius pada Sabtu (11/10) kemarin.
Menurut Widodo, ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk menekan efek akibat gas rumah kaca, yang semakin meningkatkan suhu di DKI Jakarta. Pertama, dengan melakukan efisiensi terhadap Bahan Bakar Minyak (BBM). Kedua, membatasi pembangunan gedung-gedung bertingkat dan mengalihfungsikan lahan sebagai Ruang Terbuka Hijau (RTH).
"Tentu pembangunan gedung-gedung harus semakin diteka dan lahan agar RTH dapat dibangun juga harus dilakukan. Jadi, ini bisa meminimalisir efek rumah kaca," katanya.
Ia menjelaskan, sejauh ini DKI Jakarta masih jauh dari standar minimal RTH yang ada di Indonesia. Sesuai dengan ketentuan, setiap provinsi harus memiliki 30 persen RTH. Namun, hingga saat ini wilayah Ibu Kota tercatat hanya memiliki sembilan persen RTH.