REPUBLIKA.CO.ID, AMBON -- Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal TNI Gatot Nurmantyo meminta para pemuda di Maluku untuk ikut berperan dalam menghadapi "proxy war".
"Proxy war adalah sebuah konfrontasi antara dua kekuatan besar dengan menggunakan pemain pengganti untuk menghindari konfrontasi secara langsung dengan alasan untuk mengurangi resiko konflik yang beresiko kehancuran fatal," kata Jenderal Gatot saat memberi Kuliah Umum Mahasiswa di Universitas Pattimura (Unpatti) Ambon, Jumat.
Kasad memberikan kuliah umum di Unpatti setelah melakukan kunjungan kerja ke Batalyon 731/Kabaressi, di Masohi, Kabupaten Maluku Tengah.
Kuliah umum diikuti peserta dari perwakilan mahasiswa Unpatti, mahasiswa Universitas Darulsalam Ambon, mahasiswa Universitas Kristen Indonesia Maluku (UKIM) dan mahasiswa Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ambon.
Kuliah umum juga dihadiri oleh Gubernur Maluku Said Assagaff, Pangdam XVI/Pattimura Mayjen TNI Meris Wiryadi, Kapolda Maluku Brigjen Pol. Murad Ismail.
Menurut Jenderal Gatot, perang proxy biasanya dimanfaatkan oleh pihak ketiga yang bertindak sebagai pemain pengganti adalah negara kecil, namun kadang bisa "non state actors" berupa LSM, Ormas, kelompok masyarakat atau perorangan.
"Proxy merupakan kepanjangan tangan dari suatu negara yang berupaya mendapatkan kepentingan strategisnya namun menghindari keterlibatan langsung suatu perang yang mahal dan berdarah," katanya.
Perang proxy, lanjut Jenderal Gatot, tidak dapat dikenali dengan jelas siapa kawan dan siapa lawan karena musuh mengendalikan "non state actors" dari jauh dan negara musuh akan membiayai semua kebutuhan yang diperlukan.
"Imbalannya, mereka mau melakukan segala sesuatu yang diinginkan penyandang dana untuk memecah belah kekuatan musuh," ujarnya.
Karena itu, Jenderal Gatot meminta para pemuda untuk melakukan aksi menangkal proxy war dengan caranya masing-masing sesuai bidang ilmu yang ditekuni.
"Kita akui bahwa permasalahan kepemimpinan (leadership) merupakan permasalahan utama yang perlu segera dibenahi untuk kembali menjadi bangsa Indonesia yang kuat dan maju," katanya.
"Banyak pemimpin yang sudah melupakan nilai-nilai luhur bangsa, karena itu pembentukan karakter (character building) harus dilakukan mulai dari keluarga, lingkungan, sekolah dan institusi pemerintah.