REPUBLIKA.CO.ID, AMBON -- Guru Besar Ilmu Filsafat Universitas Pattimura Prof DR Aholiab Watloly menyatakan, esensi demokrasi adalah kedaulatan rakyat. Sehingga UU Pilkada yang mengatur mekanisme pemilihan gubernur, bupati/wali kota oleh DPRD bertentangan dengan makna demokrasi itu.
"Kalau ditanya rakyat yang mana, ya jawabannya jelas rakyat yang berdaulat menentukan pemimpinnya," katanya, di Ambon, Ahad (5/10).
Menurut Aholiab, pilkada lewat DPRD jelas menghilangkan kedaulatan rakyat. Karena anggota dewan berasal dari berbagai partai politik dan lekat dengan kepentingan masing-masing. Bukan kepentingan atau keinginan rakyat secara keseluruhan.
Ia menilai, kepentingan rakyat hanya bisa terlihat jika kewenangan memilih pemimpin diberikan kepada seluruh anggota masyarakat lewat pilkada langsung. Seperti yang telah berjalan selama 10 tahun terakhir ini.
"Jadi rakyat di sini adalah yang riil, bukan institusi yang mengatasnamakan rakyat, termasuk DPRD," katanya.
Mengenai sila ke-4 Pancasila, Aholiab menyatakan, poin pentingnya ada pada kata kebijaksanaan sebagai bentuk kecerdasan untuk menentukan nilai cinta kasih kepada Tuhan dan sesama manusia. Sehingga terwujud rasa persaudaraan, persatuan dan kesatuan bangsa.
"Bangsa kita ini berbeda-beda suku, golongan dan agama. Sehingga kebijaksanaan itu mutlak diperlukan. Jadi bukan soal kalah-menang, bukan pula tirani mayoritas atau minoritas. Inilah yang disebut Bung Karno sebagai berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah dalam semangat gotong royong," katanya.
Sekarang ini, kata dia, banyak orang cerdas tetapi tidak bijaksana. Apa yang dipertontonkan oleh anggota DPR pada awal masa kerjanya sangat memprihatinkan.
Karena mereka terpecah dalam perbedaan dan tersegmentasi dalam kepentingan materi kekuasaan yang sempit.
"Kita semua berharap fenomena itu temporer sifatnya dan para anggota dewan yang terhormat itu bisa segera menemukan kecerdasan budi pekerti yang menjadi warisan kebangsaan atau yang disebut hidup manusia pancasilais," katanya.