REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Rencana Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) untuk menjamin tetap diadakannya pilkada langsung, perlu ditinjau ulang. Apalagi kemungkinan besar pengajuan itu akan terkendala di DPR.
"Kalau toh peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) itu tetap diterbitkan, pertanyaannya apakah Koalisi Merah putih (KMP) tidak akan melakukan tindakan yang sama di DPR," kata pakar hukum tata negara dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta Sri Hastuti Puspitasari, Rabu (1/10).
Menurut dia, dasar penerbitan perppu tersebut juga perlu dipertanyakan, karena penggunaan hak prerogatif Presiden berupa perppu itu semestinya dilakukan dalam situasi yang genting. Padahal, kata dia, kegentingan dari ekses RUU Pilkada itu dapat diklaim ketika RUU tersebut telah dinyatakan sah menjadi UU.
"Lain persoalannya kalau UU itu telah dinyatakan sah berlaku, kemudian ada penolakan dari masyarakat. Maka, Presiden dapat mengeluarkan perppu atas nama aspirasi masyarakat yang paling banyak," katanya.
Selain itu, kata dia, penerbitan perppu tersebut juga terkesan tidak umum, sebab perppu dikeluarkan di saat UU yang baru saja disetujui di DPR, akan atau baru saja disahkan berlaku sebagai UU.
"Kalau itu dilakukan, mungkin baru kali ini terjadi," katanya.
Selanjutnya, apabila pada akhirnya perppu tersebut ditolak DPR untuk menjadi UU, maka Presiden harus membuat draft RUU baru.
"Sementara dalam proses pembahasan draft RUU baru tersebut juga bisa dimungkinkan akan mengalami konflik politik yang sama," kata dia.
Menurut Sri, mengacu tahapan normatif, sebaiknya Presiden menunggu saja UU Pilkada tersebut dinyatakan sah berlaku, selanjutnya mendukung upaya uji materi UU Pilkada di Mahkamah Konstitusi (MK).