REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rencana Presiden SBY menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undnag (Perppu) UU Pilkada dinilai menyimpang dengan kaidah hukum di Indonesia. Sebab, Perppu hanya perlu diterbitkan dalam keadaan genting dan memaksa.
Pakar hukum tata negara dari Universitas Parahyangan (Unpar), Asep Warlan Yusuf mengatakan, Perppu hanya dikeluarkan jika terjadi sebuah keadaan kalau tidak dikeluarkan Perppu tindakan penanggulangan tidak sah. Sedangkan perbedaan pandangan politik SBY dengan UU Pilkada tidak bisa dijadikan alasan untuk menerbitkan Perppu.
Menurutnya, ketika SBY tidak setuju dengan UU Pilkada tidak lantas diganti dengan Perppu. Diketahui, SBY yang juga Ketua Umum Partai Demokrat mendukung Pilkada langsung dengan 10 perbaikan. "Jadi keliru kalau SBY menggunakan Perppu menjadi mengganti UU Pilkada," kata Asep saat dihubungi Republika, Selasa (30/9).
Asep menilai adanya desakan dan aspirasi dari masyarakat yang menolak Pilkada DPRD tidak bisa diartikan negara dalam keadaan genting dan memaksa. Selain itu, sikap SBY dinilai rancu. Sebab, dalam sidang paripurna DPR, SBY telah diwakili oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Gamawan Fauzi yang ikut membahas dan mengesahkan UU Pilkada.
Sehingga tidak logis jika SBY mengatakan tidak setuju dengan UU Pilkada. "SBY seperti memaksakan kehendak, fungsi Mendagri apa dong ketika membahas dengan DPR?" Diberitakan sebelumnya, SBY berinisiatif mengeluarkan Perppu sebagai pengganti UU Pilkada.