REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Pakar hukum tata negara Universitas Islam Sultan Agung Semarang Dr Rahmat Bowo menilai Undang-Undang Pilkada tetap sah tanpa ditandatangani Presiden.
"Berdasarkan UU Nomor 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, naskah UU yang sudah disetujui bersama harus diundangkan, dan dimasukkan ke lembaran negara," katanya di Semarang, Selasa.
Menurut pengajar Fakultas Hukum Unissula itu, pengesahan UU yang telah disetujui bersama dilakukan dengan ditandatangani Presiden yang kemudian dimasukkan lembaran negara dan UU dinyatakan berlaku.
Namun, kata dia, seandainya Presiden sampai 30 hari sejak UU disepakati bersama tidak menandatanganinya maka UU tersebut harus tetap diundangkan dan masuk lembaran negara, tanpa tanda tangan Presiden.
"Apakah ada UU yang tanpa tanda tangan Presiden? Ada. Zaman pemerintahan Presiden Megawati pernah terjadi seperti itu. Namun, aturannya ketika itu masih menggunakan UU Nomor 10/2004," katanya.
Ia mengatakan ada batas waktu penandatanganan Presiden atas UU, yakni paling lambat 30 hari sejak UU disetujui bersama, dalam konteks RUU Pilkada yakni pada saat rapat paripurna DPR (26/9) lalu.
"Kalau lewat 30 hari sejak naskah UU disepakati bersama tidak juga ditandatangani Presiden, maka RUU tersebut harus segera diundangkan, meski tanpa pengesahan atau tanda tangan Presiden," kata Rahmat.
Persoalannya, kata dia, akhir masa jabatan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kurang dari 30 hari lagi, sehingga sisa tenggat waktu penandatanganan akan diteruskan oleh penggantinya, yakni Joko Widodo.
"Jika Jokowi nantinya juga tetap tidak mau menandatangani naskah UU itu, ya sama saja. Naskah UU itu tetap harus diundangkan, dan masuk dalam lembaran negara sebagai UU yang berlaku," ujarnya.