REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menghubungi Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Hamdan Zoelva pada Ahad (28/9) sore. SBY menyampaikan kekecewaan kepada Hamdan soal hasil rapat paripurna DPR yang mengesahkan RUU Pilkada.
Hamdan mengatakan dalam perbincangan tersebut SBY menyampaikan tentang dinamika pengambilan keputusan pada rapat paripurna DPR. Presiden menyatakan tidak mendapatkan update dan konfirmasi terakhir ketika pengambilan keputusan.
"Hingga presiden merasa kecewa terhadap putusan yang diambil oleh DPR," kata Hamdan kepada wartawan di gedung MK, Senin (29/9).
Hamdan menyampaikan kepada SBY prosedur pengambilan keputusan di DPR dalam praktik ketatanegaraan di Indonesia. Prosedur diawali dengan pendapat DPR melalui fraksi-fraksinya. Kemudian sambutan dari pemerintah.
Hamdan juga menyampaikan kepada SBY bahwa Presiden RI tidak mempunyai hak prerogatif untuk membatalkan UU. Dia mencontohkan pengesahan UU tentang Kepulauan Riau. Saat itu Presiden Megawati tidak memberikan tanda tangan untuk mengesahkan UU tersebut.
"Berdasarkan pasal 20 ayat 5 UUD 1945, ditandatangani atau pun tidak ditandatangani presiden, UU itu otomatis berlaku," terang Hamdan.
Hamdan menjelaskan latar belakang lahirnya pasal 20 ayat 5 UUD 1945. Pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, ada UU yang sudah disepakati dalam rapat paripurna DPR. Tapi presiden tidak tanda tangan. Sehingga UU itu tidak berlaku.
Kemudian pemerintahan Presiden Habibie tahun 1999, ada UU dalam keadaan bahaya yang pada saat itu presiden tidak tanda tangan. Sehingga UU itu pun tidak berlaku.
Oleh sebab itu, pada perubahan UUD 1945, dipertegas dalam pasal 20 ayat 5. Pasal tersebut menyatakan dalam waktu 30 hari setelah keputusan diambil dalam sidang paripurna, ditandatangani atau tidak oleh presiden, UU itu otomatis berlaku. "Saya sendiri ikut menyusun UUD itu. Itu yang saya sampaikan pada presiden makna pasal 20 ayat 5," ujarnya