REPUBLIKA.CO.ID JAKARTA – Pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pilkada menjadi UU Pilkada memiliki dampak bagi lembaga survei. Salah satu poin dalam UU Pilkada yakni pemilihan kepala daerah oleh DPRD.
Padahal selama ini lembaga survei banyak yang mengandalkan survei politik pemilihan kepala daerah.
“Dampaknya pasti terasa bagi lembaga survei politik, kalau hanya sekadar memenuhi pesanan untuk mensurvei elektabilitas kandidat sebagai kerjaan utama dia akan punah sendirinya,” kata Pengamat Politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Firman Noor, saat dihubungi Republika, Ahad (28/9).
Namun, Firman menegaskan pekerjaan lembaga survei lebih luas dari sekadar survei politik. Di negara maju, lanjutnya, lembaga survei juga mensurve RUU apakah bisa diterima masyarakat atau tidak. Selain itu juga mensurvei kebijakan pemerintah apakah bisa diterima masyarakat.
“Levelnya bukan pemenangan kandidat tapi program kebijakan pemerintah atau oposisi,” imbuhnya.
Jika lembaga survei hanya sekadar pemenangan kandidat, dipastikan akan berakhir. Namun, jika memaknai survei dalam arti luas akan relevan dengan perkembangan saat ini. Tapi juga perlu dikaji apakah ada politisi partai atau anggota dewan butuh lembaga survei dalam mengkritisi kebijakan pemerintah.
Menurut Firman, sejauh ini pemasukan terbesar mayoritas lembaga survei di bidang politik untuk mengukur elektabilitas kandidat.
Oleh sebab itu, lembaga survei harus merespon sebaik mungkin UU Pilkada dan menjadi lembaga survei yang sesungguhnya. Lembaga survei harus menyusun strategi untuk bertahan. Mereka diharapkan tidak sekadar menjadi tim sukses atau instrument pemenangan kandidat.
“Untuk saat ini belum mengarah ke sana. Ke depan lembaga survei harus menjadi instrument akademis untuk mengukur kepuasan public,” imbuhnya.