Ahad 28 Sep 2014 15:41 WIB

SBY Penentu Utama Pembatalan UU Pilkada

  Sejumlah aktivis dari Koalisi Kawal RUU Pilkada menggelar aksi unjuk rasa di depan Gedung DPR, Jakarta, Rabu (24/9).  (Republika/Wihdan)
Sejumlah aktivis dari Koalisi Kawal RUU Pilkada menggelar aksi unjuk rasa di depan Gedung DPR, Jakarta, Rabu (24/9). (Republika/Wihdan)

REPUBLIKA.CO.ID, KUPANG -- Akademisi dari Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang Dr Karolus Kopong Medan, SH,M.Hum mengatakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjadi penentu utama pembatalan Undang-undang Pilkada yang disahkan DPR-RI, Jumat, (26/9).

Selain Mahkamah Konstitusi (MK) yang berwewenang menguji materi setiap UU yang diajukan secara perorangan maupun lembaga, celah untuk mengembalikan pilkada langsung oleh rakyat tergantung Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk tidak menandatangani UU yang telah disetujui oleh DPR-RI itu, katanya di Kupang, Ahad.

Meskipun, semua publik mengetahui dengan persis bahwa sikap SBY sesungguhnya sudah dapat dinilai dalam proses pengusulan rancangan UU Pilkada tersebut, yang intinya merupakan inisiatif eksekutif.

Namun, menurut Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Undana Kupang ini, sikap menentukan dari Presiden SBY itu juga harus lebih hati-hati agar tidak bertentangan dengan pasal 18 ayat (4) UUD 1945, yang menyebut pemilihan kepala daerah dilakukan secara demokratis.

"Demokratis yang dimaksud dalam pasal 18 ayat (4) itu ditafsirkan secara luas yaitu bisa oleh wakil rakyat (DPRD) bisa juga oleh rakyat (langsung), sehingga sangat tergantung dari sudut pandang mana dan kepentingan apa orang melakukan penafsiran," tuturnya.

Jadi menurut Kopong Medan, penyebutan kata demokratis ini kemudian memunculkan banyak definisi dan penafsiran. Kecuali pemilihan presiden yang termuat dalam pasal 6A ayat (1) yang secara lurus menyebut bahwa pemilihan presiden dilakukan secara langsung oleh rakyat. Sehingga tidak perlu ditafsir.

Namun, menurut Kopong Medan, Pemilihan umum menjadi salah satu indikator stabil dan dinamisnya demokratisasi suatu bangsa.

Dalam konteks Indonesia, katanya penyelenggaraan pemilu memang secara periodik sudah berlangsung sejak awal-awal kemerdekaan bangsa ini, akan tetapi proses demokratisasi lewat pemilu-pemilu yang terdahulu belum mampu menyemai nilai-nilai demokrasi yang matang akibat sistem politik yang otoriter.

Harapan untuk menemukan format demokrasi yang ideal mulai nampak setelah penyelenggaraan pemilu 2004 dan 2009 lalu yang berjalan nisbi cukup lancar dan aman.

Untuk ukuran bangsa yang baru beberapa tahun lepas dari sistem otoritarian, penyelenggaraan Pemilu 2004 dan 2009 yang terdiri dari pemilu legislatif dan pemilu presiden secara langsung yang berjalan tanpa tindakan kekerasan dan "chaos" menjadi prestasi bersejarah bagi bangsa ini.

 

Ikuti informasi terkini seputar sepak bola klik di sini

sumber : antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement