REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Sekretaris Jenderal Partai Persatuan Pembangunan (PPP) M Romahurmuziy mengatakan hasil evaluasi pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung sejak 2005 menunjukan adanya sembilan efek negatif.
"Pertama, tingginya biaya politik, yang memunculkan 'barrier to entry' (penghalang) dari calon berkualitas tapi berbiaya cekak," katanya melalui pesan singkat yang diterima Antara di Jakarta, Kamis (25/9).
Kedua, munculnya politik balas budi dari calon yang menang dengan mengarahkan program bantuan sosial hanya kepada kantong-kantong desa yang memilihnya. Ketiga, kebutuhan mencari "uang kembalian" menjadikan 60 persen atau sebanyak 292 kepala daerah yang terpilih secara dalam pilkada langsung terjerat persoalan hukum.
Keempat, pilkada langsung meningkatkan eskalasi konflik horizontal. Kelima, pilkada langsung memunculkan sejumlah ketidakpastian karena berlarut-larut dalam sengketa pilkada di Mahkamah Konstitusi yang sampai beberapa waktu lalu menimbulkan skandal tersendiri.
Keenam, pilkada langsung memunculkan fenomena 'ketidakpatuhan' koordinasi bupati/wali kota kepada gubernur selaku kepanjangan tangan pemerintah pusat. Ketujuh, moratorium (penghentian) pilkada langsung akan menghemat anggaran negara sekitar Rp50 triliun dalam lima tahun, yang bisa digunakan untuk kepentingan peningkatan kesejahteraan rakyat.
Kedelapan, menurut dia, pilkada oleh DPRD adalah pelurusan arah demokrasi. Dari demokrasi liberal ke demokrasi Pancasila, sesuai demokrasi perwakilan yang tertulis dalam sila Pancasila di sila ke-4. Sembilan, kata dia, pilkada langsung melestasrikan 'money politics' atau politik uang. "Menjadikan demokrasi langsung kehilangan esensi," katanya.
Ia menambahkan, PPP memahami bahwa pemilihan langsung adalah 'luxury' demokrasi, kemewahan demokrasi oleh rakyat. "Namun, saat ini diperlukan moratorium sampai dengan sembilan ekses yang menjadi catatan PPP itu dapat diperbaiki," kata dia menegaskan.