REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Keputusan tingkat pertama RUU Pilkada telah diambil di Komisi II DPR, Rabu (24/9) sore. Seluruh fraksi, perwakilan DPD, dan Kementerian Dalam Negeri sebagai inisiator sepakat membawa hasil pembahasan RUU Pilkada ke tingkat dua pada rapat paripurna DPR, Kamis (25/9) besok.
Ketua Panja RUU Pilkada Abdul Hakam Naja mengatakan, terdapat tujuh kluster yang dibahas oleh panja. Kluster pertama, mekanisme pemilihan kepala daerah.
Kedua, sistem pemilihan paket atau non-paket. Ketiga, menyangkut syarat pencalonan dan kaitannya dengan politik dinasti.
Keempat, tugas dan wewenang wakil kepala daerah. Kluster kelima, penyelesaian sengketa. Keenam, pelaksanaan pilkada serentak. Ketujuh, menyangkut sistem pendanaan penyelenggaraan pilkada.
Meski telah berlangsung lama, tidak dicapai kesepakatan mengenai tujuh kluster tersebut dari semua fraksi, DPD, dan pemerintah. Kluster yang disepakati secara bulat oleh semua fraksi hanya yang berhubungan dengan penyelesaian sengketa, pelaksanaan pilkada serentak, dan sistem pendanaan.
Sementara, terkait mekanisme pemilihan, sistem paket atau non-paket, politik dinasti, tugas dan wewenang wakil kepala daerah belum diraih satu keputusan bulat.
"Sehingga masih ada dua kategori besar yang berbeda, antara mekanisme langsung atau lewat DPRD. Lalu paket pemilihan kepala daerah bersamaan dengan wakil, atau hanya pemilihan kepala daerah saja," jelas Hakam.
"Opsi-opsi ini akan dibawa ke paripurna untuk diambil keputusan bersama. Tapi tetap bonggol besarnya, mekanisme langsung atau tidak langsung dan sistem paket atau non-paket," ujarnya.
Pada pandangan mini fraksi, Pemilihan sistem paket didukung Fraksi PKS, PKB, Hanura, dan PAN. Sementara sistem non-paket, atau pemilihan wakil kepada daerah diusulkan kepala daerah terpilih diajukan oleh Fraksi Partai Demokrat, PDIP, Golkar, Gerindra, dan PPP.
Untuk pengaturan politik dinasti, lima fraksi mendukung calon kepala daerah yang memiliki hubungan perkawinan, kekerabatan langsung yakni orang tua dan anak. Sementara kekerabatan ke samping seperti saudara kandung, menantu dengan petahana dilarang maju.
Jika ingin mencalonkan diri harus menunggu jeda satu periode atau lima tahun setelahnya. Sementara Fraksi PDIP, Golkar, PKB, dan Hanura sepakat pembatasan tidak berlaku bagi hubungan orangtua dan anak.